44

52.5K 5.8K 319
                                    

❄❄❄

Huft! Tiupan napas kencang terlempar dari bibir pria dengan garis wajah tegas itu. Sejak kejadian di rumah Gunawan tiga hari lalu dan luapan kemarahan Nala, Aska merasakan perubahan pada istrinya dan itu cukup mengganggunya. Sebisa mungkin wanita yang kini badanya lebih berisi tersebut menghindari dirinya, walaupun tidak secara terang-terangan, namun Aska menyadarinya. Terasa ada yang hilang, meskipun Nala masih melayani dirinya seperti biasa. Melayani dalam artian yang sesungguhnya bukan di ranjang.

Jika seperti ini terus, bukan tidak mungkin menimbulkan celah besar dalam hubungannya dengan Nala. Bagaimanapun caranya, Aska akan memaksa Rima untuk menjelaskan pada Nala bahwa mereka tidak ada hubungan apa-apa. Melihat istrinya berada didekatnya tetapi terasa jauh tak tersentuh membuat benar-benar frustasi, Aska bahkan tak bisa memfokuskan perhatian pada pekerjaannya.

Ia tatap dengan lekat wajah istri yang sedikit kuyu, lingkaran hitam menghiasi kantung mata perempuan itu. Bibirnya sedikit pucat karena memang badan Nala sedikit hangat akibat cuaca yang tak menentu. Binar mata ceria itu meredup, tidak tampak walaupun sedikit. Senyum manis untuknya pun dipaksakannya. Ingin sekali bibir Aska bertanya dan berkata tetapi seperti ada sesuatu yang membungkamnya kuat.

Saat Nala terlihat masuk ke kamarnya, Aska segera mengambil kesempatan untuk menyusulnya. Ia sudah tidak tahan didiamkan atas perbuatan yang tidak ia lakukan. Dengan langkah lebar dan cepat ia sampai di bilik mereka lalu mengunci pintunya. Nala yang baru saja melepas baju atasan tidurnya menoleh ke arah pintu, lalu kembali memusatkan perhatian pada tumpukan baju di depannya, memilih pakaian yang akan ia kenakan.

Tiba-tiba sepasang tangan hangat dan besar merambat dari belakang dan melingkar secara posesif di perut buncitnya menghentikan kegiatannya, tepat saat anaknya bergerak. Aska membelai perut tersebut untuk menenangkan tingkah bayi itu. Menumpukan dagunya di pundak Nala. Tangannya terulur menutup pintu lemari dan menampakkan bayangan mereka berdua di cermin. Tatapan keduanya bertemu dalam cermin di depan mereka. Tidak ada kata, diam dalam keheningan, hanya kicauan burung masuk memecah keheningan dalam kamar mereka.

"Bicaralah. Jangan diamkan aku seperti ini. Marah, teriak, pukul atau tampar aku itu lebih baik. " desak pria itu. "Tapi bicaralah dan percayalah padaku. Aku nggak ada apa-apa sama dia."

Air mata yang ia tahan meluruh mendengar permintaan Aska. Nala tidak marah pada suaminya hanya kecewa. Dirinya tak cukup memiliki kepercayaan pada pria itu untuk tak lagi menyakiti dirinya, walaupun Aska menjanjikan hal tersebut. Tangisan dalam diamnya mampu menjawab ucapan Aska, bahwa lelaki berkaos merah maroon tersebut sangat melukai dirinya. Nala juga tahu bahwa ada ketulusan dan kesungguhan saat lelaki berkulit sedikit gelap itu mengatakan bahwa ia mencintai dirinya. Hanya saja ia perlu untuk kembali meyakinkan dirinya.

Usapan jarinya yang sedikit kasar itu menghapus air mata yang turun di pipi istrinya. Ia melepaskan tautan tangannya di perut Nala, memegang bahu dan memutar perempuan tersebut menghadap Aska. Laki-laki itu berlutut, menegakkan badannya sejajar dengan perut istrinya lalu menempelkan samping wajahnya di sisi perut Nala yang telanjang. Tangan Aska melingkar sampai ke bagian belakang.

"Aku mencintaimu, La. Percayalah padaku," ucapnya lirih. "Aku nggak ada apa-apa dengan Rima. Dia emang menyukai ku tapi nggak pernah sedikitpun aku memberinya perhatian ataupun kesempatan. Waktu itu dia tiba-tiba memelukku, aku terdorong secara otomatis aku mencari pegangan, karena itulah aku memeluknya biar nggak jatuh. Aku mencoba melepas dekapannya, saat itulah kamu melihatnya. Asal kamu tahu, aku nggak akan dengan sengaja menyakiti dirimu," terang Aska panjang. Ia berharap dengan penjelasannya, salah paham ini terurai. Tiga hari terhampa baginya tanpa ada tawa Nala, suara rengekan dan tidur tidak ada istrinya dalam pelukannya. "Aku nggak pernah ada rasa sama sekali padanya, dari dulu sampai saat ini pun aku nggak melihatnya selain sebagai seorang saudara. Tetapi beda sama kamu, La.

Love is a Choice ( TERSEDIA DI GRAMEDIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang