6

57K 5.7K 222
                                    

Kurang 1 hari lagi ya PO Ja dan WFl jadi yang masih belum ikut buruan...terus yang ikutan tapi belum transfer ditunggu ya...biar segera direkap dan infoin ke percetakan...

❄❄❄

Buliran kristal bening itu akhirnya luruh waktu ia memejamkan matanya, saat telinganya mendengar para saksi nikah mengucap kata, Sah. Ia tak tahu harus bahagia apa sedih dengan pernikahan ini. Pernikahan yang berdiri di atas keterpaksaan selain itu yang membuatnya semakin terpuruk wali nikahnya pun orang lain bukan ayahnya. Begitu tak sukanya Gunawan terhadapnya sampai tugasnya sebagai wali nikah dilimpahkan pada orang lain.

Kenyataan itu pun ia dengar dari mulut pedas ibunya, Hesti. Ia tak begitu mendengarkan apa yang Aska ucapkan saat mengucapkan ijab kabul di depan pak penghulu karena ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Lihat saja, adakah pengantin wanita yang begitu menyedihkan selain dirinya, tak ada ucapan selamat dari bibir saudara juga ibunya, tak ada yang menemani dirinya di kamar, tak ada pelukan hangat dan raut kebahagiaan yang ia dapatkan. Desahan kasar lolos dari bibir ranumnya, menekan-nekan air mata di pipinya dengan tisu saat Dhea membuka pintu kamar dan menyuruhnya untuk turun lalu pergi begitu saja.

See? Poor me. Terlebih lagi mereka tak mau repot-repot membantu turun ke bawah. Beruntung Mbok Sih dengan setia menemaninya, menguatkan Nala, dan menggandengnya turun. Sampai di ujung tangga barulah dua saudarinya menampilkan senyum palsu dan mengapit dua lengan miliknya membimbingnya ke ruang tengah dimana pria itu duduk tenang menanti dirinya.

Jika bukan karena tamu undangan sudah dipastikan Dhea dan Rima akan membiarkan dirinya berjalan sendiri. Ketika ia duduk di samping kursi Aska di depan pak penghulu dan para saksi, jemari Aska mengelus punggung tangannya di pangkuannya dan membuatnya terjengkit kaget kemudian menoleh ke samping menatap Aska yang menyeringai puas.

Acara berlanjut ke khotbah nikah lalu ke pemasangan cincin untuk kedua pengantin, tidak lupa Nala mencium punggung tangan Aska, dan penyerahan buku nikah. Saat mencium kening Nala, dengan lembut Aska menempel bibirnya di kulit halus itu dan meresapi dalam-dalam. Meskipun kecupan di keningnya sebentar namun menimbulkan getaran dalam perut Nala yang menggelitik, seolah ada kupu-kupu beterbangan dalam perutnya.

❄❄❄

Resepsi berlangsung di taman belakang, Aska sengaja meminta resepsi langsung diadakan setelah ijab kabul agar tidak perlu membuang-buang waktu. Aska dan Nala sendiri sudah berganti pakaian lebih simpel, dress panjang warna peach lengan pendek terbuat dari sifon halus membalut pas tubuh Nala. Taman belakang disulap dengan cantik oleh pihak EO yang Aska sewa, tamu undangan pun tidak banyak hanya sebatas sahabat, keluarga dan beberapa kolega bisnis yang dianggap penting seperti pemilik Global inc. Gara dan istrinya beserta anak mereka.

Keindahan taman belakang, kemegahan acara itu berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Nala. Sedih, hancur dan ketakutan ia rasakan, namun perempuan itu tetap berusaha untuk tersenyum menyambut tamu. Doa dan ucapan selamat selalu ia aminkan dengan sepenuh hati berharap menjadi kenyataan.

"Selamat, akhirnya kamu keluar juga dari lubang gelap, Ka," ucap Gara dengan menjabat tangan teman bisnisnya itu dan menepuk-nepuk lengang Aska.

Aska tertawa keras. "Hahaha....ya akhirnya, Ga, gue nyusul lu keluar dari sana," jawab mantap.

"Gimana ceritanya dia setuju nikah sama lu?" bisik Gara di telinga Aska.

"Adalah...nanti kalau kita ngumpul gue ceritain," jawab Aska dengan berbisik juga.

"Kayaknya kapan-kapan kita harus ngumpul, rasanya udah lama kita nggak ngumpul."

Aska mengangguk cepat. "Ok, kontak gue."

Sekali lagi Gara mengucapkan selamat lalu turun dari pelaminan karena di belakangnya banyak yang mengantri. Acara berakhir tepat pukul dua siang, tamu terakhir pun sudah pergi sejak sepuluh menit lalu. Nala tampak lelah berdiri tanpa duduk selama kurang lebih tiga jam, ditambah ia belum sempat mengisi perutnya dan sekarang perut melilit. Nala berjalan pelan mendekati meja makanan dan mengambil piring kemudian mengisi piring kosong itu dengan makanan.

Nala duduk di kursi terdekat agar memudahkan dirinya jika ingin mengambil makanan lagi. Piringnya sudah berpindah di atas meja di hadapannya, ia mulai makan dengan pelan dan tanpa sengaja matanya menyaksikan bagaimana dua saudarinya menempel terus pada Aska.

Ia langsung pulang setelah dari ruangan Aska, dia tak jadi menemui ayahnya karena percuma. Seperti yang Aska katakan Gunawan tak akan membatalkan semua ini meskipun Nala memohon sekalipun. Sampai di rumah Hesti, Rima dan Dhea sudah menunggunya.

Dhea berlari kearahnya lalu berkacak pinggang di hadapannya. "Gimana?" tanyanya dengan tidak sabar.

Perempuan itu menggeleng lemah. "Aku belum ketemu, Ayah, hanya Kak Aska. Dan Kak Aska tetap pada keputusannya," jawab Nala lirih. Mudah-mudahan jawaban yang ia berikan dapat diterima mereka.

Secara tiba-tiba Dhea mencengkeram kuat rambut Nala hingga wanita itu merintih kesakitan dan kepalanya mendongak. "Kamu pasti bohong dan jangan harap aku akan percaya," sahut Dhea.

Tangan Nala memegangi rambut yang di tarik kuat oleh Dhea agar sakitnya sedikit berkurang. "Nggak, Kak. Kalau nggak percaya Kakak boleh tanya sendiri sama Kak Aska, aku sudah berusaha membujuknya tapi Kakak Aska tetap pada pendiriannya," ujar Nala dengan meringis .

Dhea melepaskan tarikan tangannya di rambut Nala. Tanpa berkata lagi Rima, ibu dan Dhea pergi meninggalkan dirinya. Semakin rumit saja hidupnya gara-gara keinginan sepihak ayahnya. Nala duduk di sofa depan televisi dengan pikiran berkecamuk, bila bisa memilih ia tak ingin berada di posisi ini dimana semuanya merugikan dirinya.

"La, makanmu masih lama?"

Tak ada jawaban yang Aska dapatkan, pria itu duduk di hadapan Nala pun perempuan tersebut tak bereaksi. Pandangan mata istrinya kosong tanpa binar, tanpa jiwa. Ia coba menggoyang-goyangkan tangannya di muka Nala tapi istrinya masih terseret arus lamunan. Aska  menyentuh lengan wanita itu sontak membuat Nala sadar dari lamunannya. Ia tak sadar jika suaminya duduk di depannya. Hanya dengan sentuhan ringan Aska berhasil mengembalikan kesadaran istrinya, ternyata reaksi Nala masih sama seperti dulu.

"Ka--Kak Aska, ada--ada apa?" tanya Nala gelagapan, intonasi suaranya terdengar bergetar. Sentuhan Aska memberi efek besar di dirinya dan Nala takut akan itu.

Pria itu bersandar di kursi dengan tangan terlipat di dada, menatap lekat rupa Nala membuat istrinya gelisah, remasan pada jari-jemarinya mengisyaratkan hal itu. Tidak berubah masih sama, baguslah pikir Aska itu memudahkan semuanya. Nala benar-benar gugup, gelisah menanti apa yang akan suaminya lakukan padanya. Perut yang tadi meronta minta diisi langsung terasa penuh saat diawasi dengan ketat melalui mata itu, bahkan menelan ludahnya saja sulit sebelum mendapat izinnya.

"Habiskan makannya terus kita pergi," kata Aska dengan tegas dan itu artinya perintah dan tak ingin dibantah.

Wanita itu meletakkan sendok dalam tangannya di piring lalu mengambil air mineral di depannya dan berdiri. "Aku sudah kenyang, Kak," cicitnya pelan. Entah mengapa sejak kejadian di ruang kantor Aska ia jadi selalu was-was jika di dekat suaminya.

"Habiskan, baru kita pergi."

Dia mengangguk kecil lalu duduk kembali mulai memakan makanannya, ia harus cepat jika tak ingin membuat suaminya marah. Nala makan dengan cepat sampai-sampai makanan itu langsung ditelannya membuat dirinya terbatuk-batuk. Aska menyodorkan air minum yang langsung disambut lalu diminum habis. Nala menepuk-nepuk dadanya dan semua itu tak luput dari perhatian Aska.

"Pelan-pelan nggak usah buru-buru."

Kepala dengan rambut ditata sederhana itu mengangguk kecil. Kakaknya masih sama acuh dan perhatian dalam waktu bersamaan meskipun kata-katanya kasar. Sesudah nasi dan lauk di piringnya habis, Aska lebih dulu berdiri dari kursinya lalu pergi disusul Nala.

Tuhan, apapun nantinya tolong kuatkan aku agar bisa menjalaninya.

🌿🌿🌿

Love is a Choice ( TERSEDIA DI GRAMEDIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang