"Lo udah jadian ya sama Divo?"

"WHAT? " ekspresi wajahnya sangat syok saat ini, "enggak lah bang, ngaco lo!" Cici melempar bantal yang ada di tangannya.

"Bohong lo kan, buktinya ada tau!" Nata melipat kedua tangannya, lalu tersenyum dengan penuh kemenangan. Mungkin ini salah satu leluconnya.

"Apaan dah! Bukti apa lagi? Gila lo ya?" Cici bangkit dari duduknya lalu menarik tangan Nata agar dia keluar dari kamarnya. Tapi emang dasarnya tubuh Nata lebih tegap dan berotot, tenaganya tidak cukup kuat untuk mengusirnya keluar. "Kalo lo ga keluar gue yang keluar."

"Drama banget lo, kayak sinetron," seru Nata.

"Bodo amat. Keluar bang!" Cici memekik kesal. Suaranya yang nyaring itu berhasil memekakkan telinga Nata yang akhirnya menyerah dan langsung keluar. 

"Gue bilang Mama lo udah punya pacar," ancam Nata dari luar kamar.

"Bang Nata!!!"

"Jangan lupa peje!"

"Peje, peje apaan? Awas aja lo ya, kampret!"


***

Divo memarkirkan motornya di depan minimarket yang terletak di perempatan. Dia kemudian masuk dan membeli minuman dingin. Anehnya, dia malahan merasa kegerahan di tengah dinginnya malam saat ini.

Setelah minumannya habis, dia kembali menaiki motornya dan menjalankannya melaju di atas aspal. Tujuannya saat ini adalah rumah Faiz, karena sebentar lagi sudah masuk jadwal konsultasi terapinya.

Dia mengendarai motor dengan kecepatan rata-rata, sambil tidak lupa untuk menikmati pemandangan di perjalanannya.

"Ternyata kalo berangkat ngga buru-buru gini lebih enak deh," ucapnya bermonolog. Mengingat dia yang sering datang di saat yang benar-benar kepepet, dan setelah sekian lama akhirnya dia menyadari betapa pentingnya datang lebih awal.

Jiwa-jiwa ngaret Divo memang sangat sulit dikendalikan.

Divo sesekali menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat suasana pada malam hari. Saat dia sedang asyik menikmati perjalanannya, sebuah mobil putih tiba-tiba berhenti tepat di depannya. Spontan dengan sekuat tenaga Divo mengerem agar tidak menabrak mobil yang berhenti mendadak itu.

"Sialan!" pekik Divo tertahan. Hampir saja jantungnya lompat dari tubuhnya.

Divo melepas helmnya, lalu memegang dadanya yang masih deg-degan. Apakah ini yang namanya Cinta?

Seorang cowok keluar dari mobil itu, lalu memandang Divo dengan senyum miringnya. Divo yang menyadari bahwa orang yang mengendarai mobil itu sangat telihat familiar, dia hanya membalas senyuman aneh itu dengan wajah datar.

"Wah! Sepertinya udah lama kita ngga ketemu," ucap cowok itu berlagak sok kenal.

Divo tidak menanggapi, hanya diam saja. Justru membuat cowok itu terkekeh pelan lalu kembali mencoba berbincang dengan Divo yang terang-terangan menyorotinya dengan kesal.

"Kok diem? Lo lupa ya sama gue?" lanjutnya.

Lagi, Divo tidak menanggapinya. Dia hanya berdesis pelan. Cowok itu menggulurkan tangannya sembari berkata, "yaudah deh, kenalan lagi biar otak pikun lo ngga lupa sama gue yang kece ini. Kenalin, gue Sena."

Divo menepis tangan Sena dengan geram. "Apaan sih lo, sinting!"

Sena memasang wajah terkejut dengan respon itu, wajahnya seakan tidak menyangka yang dibuat-buat, "gue kira udah lupa."

"Mau apa lo?" tanya Divo langsung, malas berbasa-basi.

Sena mendekati wajahnya ke arah Divo, "bukan apa-apa. Gue cuma mau ngingetin, besok itu tahun ke-7 Bella meninggal."

Sorot mata Sena mantap menatap netra kehitaman Divo dalam-dalam, seakan menyiratkan sebuah makna tersendiri. 

Divo mematung tanpa berkata apapun dan membalas menatap lurus ke depan, tepat di manik mata Sena yang tajam itu. Hanya mereka yang tau apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Oiya, satu lagi. Kayaknya lo mesti jauhin Cici deh. Sebelum kejadian yang sama terulang kembali," peringat Sena seraya tersenyum miring, lalu meninggalkan Divo yang tidak berkutik. Dia tidak bisa berkata apapun saat ini.

Pertemuannya dengan Sena kembali membuka pikiran masa lalunya yang selama ini berusaha dihindarinya. Masa lalu yang sangat dia benci untuk sekedar mengingatnya.

Dia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Sena hari ini. Mata Divo memanas menahan air matanya agar tidak terjatuh, namun ia gagal. Dia tidak bisa menahan air matanya agar tetap stay dipelupuk matanya yang sendu.

Setelah Sena meninggalkan Divo sendiri, ia akhirnya menangis. Dia tidak pernah menangis sedalam ini sebelumnya, tidak pernah sekalipun. Divo menutup matanya, hingga bulir air membasahi pipinya. Jalanan yang cukup sepi membuatnya sedikit leluasa untuk sekedar menangis sederas hujan.

Seorang cowok tidak akan pernah menangis, bahkan jarang ada yang menangis. Namun jika pertahanan itu roboh hingga berhasil mengoyahkannya, itu pertanda bahwa ada satu hal yang sangat berharga buat dia.

Setelah hampir lima belas menit menangis akhirnya Divo memutuskan unthk menghapus air matanya, sudah cukup menangis hari ini, pikirnya.

Sekarang saarnya dia harus segera menjumpai Faiz. Divo memasang kembali helmnya, lalu langsung melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Selang sepuluh menit berlalu, Divo akhirnya sampai di depan rumah Faiz. Memarkirkan motor dan langsung masuk ke rumahnya yang ternyata tidak dikunci.

Ceroboh banget sih, batin Divo.

Tetapi tidak terlalu dipikirkannya. Setelah menutup pintu dan mengunci dari dalam dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Divo masuk dengan mata memerah, efek dari dia menangis tadi.

"Astaga Divo, kamu mengagetkan ku."

Faiz yang memegang secangkir kopi di tangannya langsung terduduk lemas di sofa, tidak menyadari kedatangan Divo.

"Aku baru ketemu Sena," aku Divo langsung tanpa memperdulikan Faiz yang terkejut.

Faiz menaruh cangkirnya di atas meja, "tentang Bella?" serunya seraya menegakkan badannya.

Divo mengangguk, "aku bakal ceritain waktu aku bareng sama mereka bang," ucapnya dengam sorot mata menatap Faiz mantap, dia serius.

Faiz terkejut, "bukannya kamu selama ini menolak? Kamu bahkan baru nyeritain pertemuan kamu yang di rumah sakit itu setelah sekian lama. Terus kena—"

"Sekarang aku bakal cerita. Semuanya bakal aku ceritain!" Divo memotong kalimat Faiz dan itu jarang sekali dilakukannya.

Faiz sudah mengerti, Divo benar-benar serius akan menceritakan semuanya. Divo tidak pernah mau menceritakan kejadian di masa lalu dan dia sudah berulang kali memaksa tetapi selalu saja gagal, karena Divo selalu menolak.

Namun, kali ini Divo sendiri yang berkeinginan untuk menceritakannya. Itu merupakan suatu kemajuan pesat, dan juga akan berakibat baik untuk terapi Divo sendiri.

Mereka langsung menuju ke ruang terapi, untuk sesi hari ini

"Baiklah, kita mulai."

Faiz memegang pena dan papan penulisnya, sedangkan Divo sudah duduk bersandar di sofa empuk yang selalu membuatnya nyaman saat bercerita.

Sesi terapi dimulai.

🍂🍂🍂🍂🍂

Next?

AURORA♕[ON GOING]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon