Part 8

8.1K 421 22
                                    

Cukup dengan melihat senyumu, aku sudah sangat bahagia.
-TPW-

Andhara memperhatikan Azka melalui sebuah pintu kaca yang menjadi penghubung antara ruang tunggu dengan ruang terapi. Di dalam sana, Azka sedang melatih kakinya dengan berjalan sambil memegang besi yang ada di sisi kanan dan kiri laki-laki itu. Meski beberapa kali Andhara melihat Azka mengerutkan dahi, karena sedang melawan rasa sakit, namun laki-laki itu tetap tersenyum dan mengikuti terapi yang diinstruksikan oleh dokter yang berdiri menghadap Azka. Hal itu tentu saja membuatnya ikut tersenyum. Baginya tak ada hal yang lebih membahagiakan selain melihat Azka bahagia.

"Eh!" Andhara refleks menoleh saat ia menyadari ada sesuatu yang menyentuh bahunya. Seulas senyuman langsung ia tunjukan saat pandangannya menangkap Fadli berdiri di sebelahnya.

"Saya yakin, kamu pasti sangat bahagia karena suami kamu akan segera bisa berjalan lagi."

Seketika senyum manis yang terukir di bibir tipisnya berganti menjadi senyuman miris. Entah ia harus senang atau sedih? Karena setelah Azka bisa berjalan kembali, ia harus siap melepaskan laki-laki itu. Namun sebisa mungkin, ia menyembunyikan rasa sedihnya dari Fadli. "Tentu aja Dok. Siapa sih yang nggak seneng, kalau suaminya yang divonis lumpuh pada akhirnya bisa berjalan lagi," jawab Andhara dengan lirih.

"Semoga apa yang terjadi saat ini pada Azka, bisa jadi pelajaran yang berharga setelah dia sembuh nanti. Paling tidak, Azka tidak akan melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri."

"Aamiin!" respon Andhara dengan pelan.

"Ya sudah, kalau gitu saya permisi karena masih harus mengurus pasien yang lain." Setelah mendapat anggukan dari Andhara, Fadli pun langsung pergi meninggalkan perempuan itu sendirian.

Andhara mengembuskan napas kasar setelah Fadli pergi. Rasa sesak itu kembali setelah ia mengingat perjanjian antara dirinya dengan Azka. Andai ia bisa memutar waktu, ia ingin sekali mencabut kalimat tegas yang sempat ia ucapkan hari itu. Tapi Andhara bisa apa, semua sudah terjadi. Ia ikhlas jika memang cara itu bisa membuat Azka bahagia.

Bicara masalah melepaskan, Andhara jadi ingat satu quote yang sempat ia dengar dulu saat menonton film, Ketika kita mencintai seseorang, kita harus siap melepaskan. Bukan berhenti mencintai. Tapi karena tahu bukan kita yang membuatnya bahagia. Jika dulu quote itu hanya melintas di pendengarannya dan tersimpan di otaknya, maka sekarang quote itu benar-benar pilihan yang harus ia ambil. Semua terasa mudah jika dibayangkan. Tapi siapapun takkan pernah mengerti betapa sulitnya saat harus benar-benar melepaskan. Untuk menjadi istri dari seorang Azka saja, Andhara harus menunggu selama 7 tahun. Tapi sayangnya, penantiannya tak sebanding dengan hasil yang ia dapatkan. Karena ia hanya menjadi istri sementara untuk Azka.

"Ra!" Andhara langsung membalikan tubuhnya dan menubruk dada Andra saat ia mendengar suara kakaknya menyebut namanya. Isakan tangisnya selalu saja tak terbendung saat ia berada dalam pelukan Andra, yang selalu membuatnya merasa nyaman.

Andhara memang sengaja mengundang Andra untuk datang ke rumah sakit ini, agar bisa menemaninya selama Azka melakukan terapi. Karena sejujurnya, Andhara sangat benci ketika ia harus menunggu sendirian. Mungkin hanya menunggu Azka satu-satunya hal yang membuat Andhara betah.

The Perfect Wife (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang