"Papa! Divo ngga suka disini, ngga ada yang bisa Divo ajak main. Kalo dirumah kan Divo bisa main sama kang Asep." Divo menatap sayu kedua orangtuanya sama memelas.
"Kalau Divo mau keluar dari sini, Divo harus sehat!" Kata Fadli sambil memandang Divo kecil dengan tatapan sayang.
"Aku udah sehat kok, Pa." Mendengar jawaban Divo membuat Fadli mencubit gemas pipi gempal anaknya itu. Dia benar-benar lucu saat masih kecil.
Fania juga tersenyum menatap Divo yang saat ini menatapnya juga. Divo kecil kemudian beralih menatap buah yang ada di tangan Fania.
Fania yang melihat pandangan anaknya itu langsung peka. Lalu terkekeh pelan,"kamu mau?"
Divo mengangguk.
Tak lama setelah mereka memakan buah yang sudah dipotong kecil-kecil oleh Fania, pintu ruangan terbuka.
"Selamat sore pak, bu."
"Selamat sore, Dok." Fadli menjawab sambil berjabat tangan.
"Selamat sore abang Faiz." Divo tersenyum polos sekali. Dokter yang bernama Faiz itu tertawa kecil mendengar Divo yang dengan polosnya selalu memanggilnya dengan sebutan 'abang'.
"Selamat sore juga, Divo." Faiz mencubit pipi Divo dengan gemas.
"Bang, kapan Divo bisa pulang? Divo mau main sama kang Asep. Divo juga mau main sama bang Faiz."
Faiz menatap Divo sambil tersenyum,"Kalau gitu, Divo harus sehat. Kalau Divo sudah sehat, besok Divo juga sudah boleh pulang. Tapi, bang Faiz harus ngobrol dulu dengan mama sama papa ya."
Divo tersenyum lebar sambil mengangkat jari kelingkingnya ke arah Faiz. "Janji?"
Faiz yang melihatnya segera melakukan hal yang sama dan menautkan jari mereka."Janji."
"Kalau gitu Divo boleh main ke taman sebentar?" Divo menatap Fadli dan Fania secara bergantian. "Divo ngga bakal jauh-jauh kok." Divo kembali memohon.
Fania menghela napas pendek lalu mengangguk."Kalau sudah capek, langsung kesini lagi ya!"
Divo langsung mengangguk cepat, lalu turun dari kasurnya. Dia mendorong pelan besi tempat infus yang sudah di pendek kan sesuai dengan tinggi badan Divo agar dia tidak kesulitan.
Divo berjalan ke taman kecil di halaman rumah sakit. Sepanjang jalan dia selalu menegur suster-suster yang menatapnya dengan gemas. Divo sangat polos sekali. Divo sudah banyak pengemar dari kecil.
Dia memandang ke arah sekeliling. Dia suka sekali duduk di taman seperti ini, dengan orangtuanya ataupun tidak. Dia duduk di bangku taman sambil mengayunkan kakinya.
"Hai."
Divo kecil menoleh saat sadar kalau dirinya sedang disapa oleh seorang anak perempuan yang sangat cantik dan mungil. Dia tersenyum kearah Divo.
Divo menatap anak perempuan itu dan membalas senyumannya. Senyuman anak itu sangat hangat sekali. Dia yakin kalau dia tidak akan melupakan senyuman itu.
"Hai juga." Divo membalas sapaannya.
"Kok kamu sendiri? Kamu ngga ada temen ya?" Tanya anak perempuan itu dengan gemas.
Divo mengangguk."Kang Asep dirumah, bang Faiz lagi sibuk sama Mama Papa."
"Kamu sakit apa?" Anak perempuan itu berjalan lalu duduk disebelah Divo. Dia masih tetap tersenyum manis sekali.
"Ngga tau." Divo menaikkan bahunya. "Kalau kamu sakit apa?"
"Aku ngga sakit, tapi abang aku. Dia tipes." Anak perempuan itu sekarang menatap lurus ke depan. Divo ber'oh' ria.
Tiba-tiba Divo memasang wajah aneh. Seperti ada yang mau keluar dari tubuhnya. Dia menoleh kearah anak perempuan itu. "Aku mau kedalam dulu ya, aku kebelet."
Divo langsung berlari meninggalkan anak perempuan itu yang pada waktu bersamaan dia langsung dihampiri oleh Mamanya.
Flashback off
Faiz manggut-manggut mendengar cerita Divo. Dia sesekali menulis di papan kertasnya dan sesekali membaca kembali tulisannya.
Divo kemudian diam. Raut wajahnya yang tadinya bersinar tiba-tiba redup. Dia seperti mengingat satu hal yang sangat dibencinya.
Faiz yang menyadari perubahan drastis itu langsung bersiap untuk menghentikan sesi bercerita Divo.
"Kayaknya sampai sini dulu, Div." Faiz bangkit dari duduknya lalu meletakkan papan kertasnya diatas meja kerjanya, "aku tau apa yang kamu pikirkan."
Divo menoleh kearah Faiz, kemudian ikut berdiri dan berjalan kearah jendela yang mengarah ke halaman.
Senyap.
Divo dan Faiz tidak bergeming. Divo bermain dengan pikirannya sendiri sedangkan Faiz hanya memandang Divo dari balik belakang kepalanga, seperti tau akan kondisi Divo saat ini.
Saat dimana dia butuh jawaban pasti ketika dia selalu mengingat masa lalu. Mengingat masa yang sangat ingin dikendalikannya. Namun, Faiz sendiri tidak bisa memberikan jawaban pasti dan itu membuat Divo hampir sering berputus asa.
Tetapi, Divo selalu percaya dengan Faiz. Dia yakin jawaban yang selama ini mereka cari pasti akan segera didapatkan, baik itu cepat atau lambat.
Terkadang Faiz sangat membenci dirinya karena gagal mengungkapkan fakta yang terjadi sebelumnya. Tetapi, dia selalu berusaha sekuat tenaga. Dia juga selalu berharap, semoga dia akan mendapatkan jawaban yang pasti dan menyelesaikan segala perkara.
Harus, dia harus mendapatkan semua jawaban yang terkubur selama ini. Ini semua demi Divo.
Divo berbalik dan menatap Faiz yang juga sedang menatapnya.
"Bang, aku pulang yah. Nanti Mama malah khawatir. Daritadi aku belum pulang soalnya," ucapnya sambil berjalan mendekat Faiz.
"Salam buat Mama Papa, Div. Bilangin aku pasti main kerumah." Faiz tersenyum tipis.
Divo mengangguk. "Assalamu'alaikum, bang."
"Iya, wa'alaikumussalam."
Divo langsung mengambil tas dan kunci mobilnya setelah pamit dengan Faiz.
Faiz hanya menatap kepergian Divo dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia menghela napas panjang. Melonggarkan dasinya kemudian meneguk sedikit kopinya, kembali bemain dengan pikirannya. Berusaha mencari cara.
Aku yakin pasti ada jawabannya, batin Faiz.
Dia menghela napas panjang dan berjalan ke kamar mandi, berniat untuk membersihkan diri.
Benar-benar hari panjang yang melelahkan.
-----------------
NEXT?
YOU ARE READING
AURORA♕[ON GOING]
Teen Fiction⚠️FOLLOW SEBELUM BACA!!!⚠️ Takdir memang suka bermain dengan kehidupan, seperti takdir Cici yang bertemu kembali dengan Divo diwaktu yang tidak disangka. Mereka kembali bertemu dan masih dihantui oleh masa lalu yang kelam. Divo berusaha mencari seb...
♕Three♕
Start from the beginning
![AURORA♕[ON GOING]](https://img.wattpad.com/cover/60544432-64-k75216.jpg)