07. Red

9 2 2
                                    

Hangat. Ini pasti matahari sore. Rimbun rumpun ilalang di antara kedua kakiku seperti tangan-tangan anak kecil menyentuh lembut seputaran lututku. Ujung-ujung jemariku menyentuh pucuk-pucuk bunga ilalang. Sensasi gelinya membuatku tersenyum.

Ilalang? Di mana ini?

Perlahan aku membuka mata. Aku berdiri.

Berdiri? Dengan kedua kaki? Oh! Aku pasti bermimpi. Mestinya aku dan kursi roda itu..., ah, sudahlah. Sudah pasti ini mimpi, kan?

Aku tengah berdiri di tengah padang ilalang yang sangat lebat. Cahaya keemasan dari ufuk barat membuatku merasa ada di ladang emas. Seperti seorang raja. Aku bagai raja dengan hamparan harta kekayaan, merasa bangga dan sedang menunjukkannya kepada dunia.

Aku kaya raya! Aku punya segalanya. Hai, Dunia, aku bahagia!

Mata memejam, kubentang tangan seluas depa, membiarkan diriku berbahagia karena menjadi seseorang. Hingga kemudian kudengar suara tawa. Jauh. Jauh sekali. Tapi tawa itu membuatku semakin bahagia. Siapa yang tertawa? Apa aku mengenalnya? Mengapa dia tertawa? Adakah yang lucu? Apakah aku harus ikut tertawa?

"Red!" Suara itu sesekali memanggilku di sela tawanya. Silau cahaya senja yang masih jingga menyala mengaburkan sosoknya. Ia adalah wanita. Jelas dari siluetnya, juga warna suaranya. "Red!" panggil pemilik suara itu lagi.

Entah keajaiban apa yang sedang berlangsung. Aku menikmatinya memanggil namaku dan tertawa di sekitarku. Dia berlari mengitariku seperti sedang menari. Tidak ada musik di sini. Tidak ada tetabuhan. Tapi, dari caranya menari, tertawa, dan memanggilku, ia tampak bahagia. Siapa dia, ya?

Hanya siluetnya yang dapat kutangkap. Wajah dan sosoknya sama sekali ttidak bisa kulihat. Mendekatlah sedikit kepadaku, pinta hatiku, supaya aku bisa mengenali siapa dirimu.

Dia masih berlarian, berlompatan dengan irama dan tariannya sendiri. Masih pula memainkan batang ilalang di jarinya. Kadang ujung-ujung ilalang yang berbunga diusapkan ke wajahnya sendiri. Ia tergelitik lalu tertawa. Benar-benar nampak sangat bahagia.

"Red!" dia kembali tertawa setelah memanggil namaku.

Bukan. Bukan seperti orang gila. Aku yakin dia tidak gila. Satu hal yang kuyakini, dia bahagia.

Bukankah mestinya aku pun mengenalnya? Terlebih dia terlihat akrab denganku. Dia nyaman dengan hadirku. Aku pun begitu. Masalahnya, kenapa susah sekali bagiku untuk mengingatnya?

Terang saja aku jadi lebih memperhatikannya ketimbang matahari. Bintang besar itu tengah menampakkan kemegahannya dalam menguasai sore. Semua jingga dan kemerahan, keemasan, kecuali dia yang berdiri membayang. Kepadanyalah perhatianku tertumpah.

Sekalipun suasana tempat ini teramat indah, aku lebih tertarik kepada dia, wanita yang hanya bisa kulihat siluetnya. Dia masih saja menari-nari lincah di depanku. Kali ini ia mengambil sejumput ilalang kering lalu menghamburkan patahannya ke udara. Ia tertawa menikmatinya berputar-putar.

Melihatnya seperti itu aku jadi ikut bahagia. Ada rasa hangat lain yang menjalar di hatiku. Apa ini? Bisa kukatakan, aku telah akrab dengan kehangatan semacam ini. Tetapi, apa alasannya? Kenapa pula aku tidak merasa terancam dengan hadirnya? Iya, dia, yang hanya dapat kulihat siluetnya sampai sekarang.

"Kamu siapa, sih?" tanyaku, akhirnya.

Dia berhenti menari. Siluet itu mendadak berhenti bergerak. Dari posenya aku tahu ia tengah menatapku. Ia memperhatikanku.

"Sori, aku ganggu tarianmu. Tapi, kamu siapa?"

Aku kembali bertanya. Kali ini aku harus menggunakan tanganku untuk menghalau silaunya cahaya matahari. Ah! Padahal aku sudah mulai dapat melihat warna pakaiannya! Dia berdiri tidak terlalu jauh dariku. Malah, sebetulnya ia semakin dekat. Semakin ia menari berputar-putar mengitariku, semakin dekat jaraknya denganku. Terlebih, sejak tadi aku tidak ke mana-mana. Dialah yang terus mendekat padaku. Jika boleh jujur dan menambah rasa ingin tahuku, kedekatannya kepadaku membuatku semakin tenang, nyaman, dengan rasa hangat yang semakin terasa nikmat juga menyenangkan.

"Aku gak bisa lihat jelas. Kamu siapa?"

Kembali kulontarkan pertanyaan yang sama. Aku ingin tahu identitasnya. Dia siapa, seperti apa wajahnya, lalu namanya, itu yang ingin kuketahui.

Sedetik kemudian aku melihat bahunya melunglai. Irama napasnya tidak lagi menggebu. Ada semangat yang menguap. Jauh berbeda, tidak seperti yang tadi.

"Aku salah ngomong, ya? Sori. Bukan maksudku menyinggung kamu. Aku hanya gak bisa mengenali kamu karena cahaya matahari terlalu silau di mataku. Dari tadi aku hanya bisa lihat bayanganmu. Tapi aku gak tahu siapa kamu. Jadi, kamu siapa?"

Di luar dugaanku, dia jatuh bertelut di antara rimbun ilalang. "Red?" panggilnya dengan nada sedih. Lho? Kenapa sedih? Aku hanya menanyakan identitasnya.

"Ini aku, Red."

Lagi-lagi nada sedih. Kenapa harus sedih? Aku hanya bertanya dia siapa, kok. Memang aku salah, ya, sudah bertanya begitu? Wajar, kan, kalau aku tanya? Aku memang tidak bisa mengenalinya. Itu pun karena silau matahari yang jingga kemerahan.

"Iya, 'aku' siapa? Namamu siapa?" tanyaku lagi, lebih mendesaknya.

Dia belum bangkit. Dia malah menunduk. Bahunya berguncang. Menangiskah dia? Ahh, kenapa harus menangis? Aku tidak merasa telah melukainya dengan pertanyaanku yang sangat amat umum dan wajar tadi.

Helai-helai rambut sebahunya menjadi tirai tambahan yang menghalangiku melihat wajahnya. Padahal mataku sudah mulai bersahabat dengan cahaya sore. Sinar jingga pun mulai pudar. Dari kemerahan menyilaukan menjadi kuning sendu nan temaram.

Aku pun melangkah mendekatinya. Berharap dengan begitu aku bisa lebih cepat mencapainya. Tentunya setelah itu aku bisa melihat wajahnya.

Tapi sepertinya semesta tidak mendukungku. Suasana berubah kelam-menghitam, tak lagi temaram. Dalam waktu singkat matahari yang tadi memerah bulat di ujung sana sudah hilang. Langit pun jadi gelap. Segelap penglihatanku yang perlahan kehilangan sosoknya. Suara, tarian, tawa, dan bayangannya, hilang.

*

Red BromeliaWhere stories live. Discover now