03. Red

13 3 5
                                    

Mataku berulang-ulang melirik ke kaca di pintu. Masih tidak ada.

Ini sudah hampir pukul delapan. Toleransi jam kunjung malam sebentar lagi selesai. Makan malam ini sudah kulalui tanpa dia. Jelas, tanpa selera. Ah, sudah semakin mendekati pukul delapan. Belum juga datang. Ke mana lagi dia?

Tenanglah, Red. Masih sekian belas menit lagi, kan?

Ada banyak orang di ruangan ini. Ayah, Ibu, juga kedua adikku. Semuanya ada di sini. Iya, di sini, di kamarku. Tempatku dirawat dan tidur untuk sebagian besar waktu.

"Mas Eka?"

Suara Ibu yang menyentak mengagetkanku.

"Ya? Apa, Bu?"

"Gimana? Sudah enak posisi bantalmu?"

"Sudah, Bu."

"Sudah gimana? Wong bantalmu miring begitu, kok! Sini, Ibu benahi!"

Aku pun menurut saat Ibu menata ulang posisi bantal, selimut, dan baju hangatku.

Baju hangat? Ya. Ibu yang memaksaku mengenakannya.

Awalnya aku menolak. Namun aku teringat pada dia yang sedang kutunggu. Dialah yang dulu memintaku menuruti perkataan Ibu. Aku tidak mau membuatnya kecewa. Jadi, meski malam ini tidak sedingin kemarin, aku mau-mau saja saat Ibu menyodorkan sweater berkerah pendek kepadaku.

Dari cara Ibu memperlakukanku, timbul rasa risih. Sama sekali tidak nyaman. Ingin rasanya berkomentar, aku bukan anak kecil. Tetapi, Beliau Ibuku, kan? Lain kalau bukan Ibu. Dia, misalnya. Pasti sudah kubentak. Tapi, dia mana?

"Nah, ayo, minum obat dulu!"

"Nanti, Bu!"

Enggan. Aku menolak tangan Ibu yang menyodorkan obat dan gelas berisi air putih ke depan mulutku.

"Eh, kepiye, tho, Mas Eka? Sekarang! Gak nanti-nanti! Keburu kamu ngantuk! Ayo, lekas, diminum dulu obatmu!"

"M-makanku belum selesai, Bu. Tuh, belum habis. Harus habis dulu. Baru, deh, minum obat. Gitu, kata dokter! Iya, kan?"

Hmm. Aku sadar betul. Bukan pertanyaan yang kulontarkan kepada Ibu. Itu proteksi! Begitulah caraku melindungi diri dari Ibu dan segala desakannya. Biasanya cara itu jitu. Dan, ya, aku berhasil. Ibuku mundur setelah menghela napas kesal.

"Selak jam delapan, Le! Nanti keburu diusir satpam, disuruh pergi," bujuk Ibu.

Iya aku tahu, ini sudah semakin mendekati pukul delapan malam. Namun, justru itulah yang kutunggu. Biarlah yang lain pulang, asalkan dia datang.

Hei, jangan berpikiran buruk dulu tentangku atau tentangnya. Bukannya aku tidak menghargai keluargaku. Mereka orang tuaku. Dan dua remaja itu adik-adikku. Hanya, aku masih belum bisa terbiasa dengan kehadiran mereka di dekatku. Mereka masih asing bagiku.

Mengherankan?

Iya, bagiku. Mengingat mereka adalah keluargaku, orang-orang yang punya hubungan darah denganku. Sementara dia, sahabatku itu, adalah orang lain yang boleh dikata bukan siapa-siapa ditilik dari kentalnya darah yang mengalir di tubuhku. Aku sendiri yakin, dia dan pengaruhnya atas hidupku bukanlah hasil rekayasa pencucian otak atau hipnotis terhadapku.

"Kok belum datang, sih?" lontarku spontan.

"Gak usah ditunggu! Ibu tahu, kok, siapa yang kamu tunggu."

Perkataan Ibu membuatku tertegun. Tepatnya tersipu. Tapi bukan aku kalau tidak bisa menyembunyikan rasa malu itu.

"Dia gak akan datang lagi," lanjut Ibu tegas. Tentu saja membuatku terperangah.

"Lho? Kenapa?"

"Ibu yang minta."

"Ibu? Tapi kenapa, Bu? Salah dia apa?"

"Dia itu bukan siapa-siapa, lho, Mas!"

"Dia itu sahabatku, Bu. Kalau bukan karena dia yang setiap hari merawatku, mungkin aku gak bisa pulih sampai tahap ini, Bu."

"Kamu pulih itu karena dokter dan obat-obatan. Bukan karena perempuan itu! Mau sampai kapan kamu dibodohi dia, Mas?"

"Dibodohi? Maksud Ibu apa?"

"Mas Eka, tolong nurut sama Ibu, sama Ayah. Berhenti berhubungan lagi dengan perempuan itu! Dia itu beda sama kita!"

Aku mencoba mencerna perkataan Ibu. Apa maksud Ibu sebenarnya?

"Sudah! Lebih baik habiskan makananmu terus minum obat. Habis itu cepat-cepat tidur. Nanti biar Ayah atau adikmu, Pras yang nunggu di sini nemenin kamu!"

"Tunggu, Bu! Maksud Ibu apa bicara seperti tadi? Aku gak ngerti. Dan kenapa Ibu sepertinya gak suka sama dia. Salah dia apa? Apa, sih, yang aku gak tahu soal dia sampai Ibu dan Bapak kepingin aku gak dekat lagi sama dia? Ada apa?"

"Dia itu.."

Tok-tok-tok. Kriet.

"Permisi?"

"Eh? Kamu?"

Aku girang. Dia datang. Sahabatku sudah datang.

Bangkit dari duduk sembari melipat korannya. Ayahku berdeham, membuat semua yang ada di ruangan jadi waspada.

"Bu, ayo kita pulang. Dik Ayu? Pras? Ayo, kalian pamit dulu sama Mas Eka!"

Ajakan Ayah mengakhiri semuanya. Menyudahi kemarahan Ibu. Memutuskan rasa ingin tahuku. Meredakan ketegangan antara aku dan Ibuku.

*

Red BromeliaWhere stories live. Discover now