10. Shade I Never Know

166K 10K 636
                                    

Tanggal 30 Desember pagi Dave sudah bersiap. Dia semangat sekali. Sekalipun berkali-kali mengatakan tidak akan bisa menikmati liburan tanpa aku, dari rona merah di pipinya aku tahu dia sangat ingin pergi. Dia sudah lama sekali ngiler waktu melihat-lihat video lamanya saat sedang berselancar. Aku tahu dia merindukan kehidupan pantai.

Dia menciumku agak lama sebelum pergi. Katanya, mereka akan naik pesawat Drey. Mereka akan tinggal di vila yang mewah. Terserah. Aku sama sekali tidak punya keinginan untuk ikut.

Sampai tadi pagi, Dave tetap berusaha membujuk agar aku ikut. Sebenarnya Dave berharap aku berubah di detik-detik terakhir. Dia juga memasukkan baju-bajuku ke dalam tas. Aku bersikeras tetap di rumah. Aku punya misi untuk dituntaskan hari ini.

Jam delapan pagi, lima belas menit setelah kepergian Dave, aku memesan taksi online. Aku sempat merasa konyol karena dandan sebelum pergi. Aku memakai dress hitam selutut dan cardigan wol Dave yang terlihat sangat kebesaran untukku. Kumasukkan kotak beludru itu ke dalam tas dan kuikat rambutku di belakang. Jangan sampai rontokan rambutku tertinggal di apartemen Drey. Aku tidak ingin meninggalkan jejak apapun kecuali kotak itu.

Kugenggam kartu kunci apartemen Drey di dalam kantongku erat-erat. Tolong bantu aku, Tuhan. Tolong bantu aku menyelesaikan semua hari ini.

Aku memang tidak tahu di mana sekarang Drey tinggal. Sudah hampir tiga tahun. Bisa saja dia pindah ke apartemen lain, apalagi apartemen ini menyimpan banyak sekali kenangan tentang kami. Mungkin dia risih hidup dalam kenangan itu.

Yah, kalau jadi dia mungkin aku akan pindah jauh-jauh. Sama seperti aku segera pindah dari kos lama dulu.

Taksi berhenti di P24. Aku turun dan langsung menuju lift. Kutempelkan kartu di sensor dan lift membuka. Jadi, kartu ini masih bisa dipakai. Drey belum pindah?

Lift membuka tepat di depan pintu Drey.

Kupenuhi dadaku dengan udara sebelum menempelkan kartu di sensor pintu. Drey tidak ada. Dia sedang dalam perjalanan ke Bali. Aku bisa meletakkan kotak ini lalu pergi. Sesimpel itu.

HP-ku bunyi.

Shit! Shit! Shit!

Buru-buru kucari HP itu di dalam tas. Dave. Aku menepi ke tembok, berharap nggak ada siapapun yang keluar dari pintu itu.

"Dave, ada apa?" Bisikku sambil menutupi mulut.

"Kenapa bisik-bisik? Lagi di WC, ya? Kebiasaan bawa HP di WC. Ntar kecemplung lagi." Dia tertawa.

"Apa, sih?"

"Ana, yang lain pada nyariin kamu, nih. Kamu ikut aja deh."

Terdengar suara Lori di belakang Dave. Kalau aku nggak salah dengar dia bilang, "kalau kamu nggak ikut, aku tidur sama Dave."

Dave tertawa.

"Bentar, deh. Ada yang mau ngobrol."

"Ana?"

Drey.

"Ana, aku minta maaf."

Kumatikan HP begitu saja.

Drey ada di sana. Drey di bandara. Dia sama Dave. Aku aman. Drey cuma satu, kan? Dia bukan Naruto, kan? Dia nggak punya ilmu memperbanyak diri, kan?

Hidupku sudah sangat kacau dengan satu Drey. Jangan sampai ada lebih banyak Drey, deh.

HP-ku bunyi lagi.

"Ana, jangan nggak sopan gitu," ucap Dave dengan nada rendah. "Masa langsung dimatikan?"

"Sori, Dave. Kamu juga nggak mau kan lihat brokoli langsung di depan matamu, kan? Kamu kasih HP langsung dengan suara dia."

Dia tertawa. "Sori." Beberapa suara di belakangnya seperti sedang berdiskusi. Ada suara cewek dan tentu saja suara Drey. Aku bisa mengenali di mana pun.

Savanna (Terbit; Heksamediapressindo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang