Matahari ke-40 : Terakhir Kalinya (END)

Start from the beginning
                                    

"Sorry ya Va, gue nggak tahan dingin soalnya." Franky bersuara dengan nada tidak enaknya ketika melihat Vania menggigil kedinginan.

"Eh? Nggak papa, gue tau kok kalau lo emang nggak kuat sama suasana dingin kayak gini. Gue baik-baik aja."

Vania memberi tanggapan maklumnya pada Franky, karena memang sedari dulu pria itu tidak menyukai suasana dingin seperti ini. Jika di sekolah sedang hujan pun, Franky sampai tak mau keluar dari kelas.

"Pake punya gue aja," ujar Alaric sembari melepaskan kemeja kotak-kotaknya dan menyampirkan kemeja itu di pundak Vania.

"Lo nggak kedinginan?"

"Santai aja kali, gue udah biasa kedinginan kayak gini."

Vania menganggukkan kepalanya lalu dengan sedikit tergesa dia memakai kemeja yang barusan disampirkan oleh Alaric.

Franky memang menjadi pria pertama yang menyadari apa yang dibutuhkan Vania saat ini, tapi Alaric ... dia yang memenuhinya meski bukan menjadi pria pertama yang menyadari itu semua. Mungkin seharusnya ini tidak perlu dipermasalahkan, tapi entah kenapa pikiran Vania seketika melayang entah ke mana untuk memikirkan hal yang tak seharusnya dipikirkan.

Dulu, Franky yang pertama kali berinisiatif untuk mengetuk pintu hati Vania, tapi Alaric yang melakukannya dan Franky yang mendapatkan. Entah siklus apa yang terjadi saat itu, tapi sepertinya ... semua itu kurang adil jika harus dipertimbangkan.

Kedua kaki Alaric melangkah pelan ke arah jembatan dan berhenti di langkah ke lima, dia menempatkan kedua tangannya di pembatas jembatan dengan kedua mata tertutup. Menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan sampai kesejukan merajarela dalam dirinya.

Vania yang melihat itu langsung melangkahkan kaki dan berdiri di samping Alaric. Melakukan sesuatu yang pria itu lakukan sembari menutup matanya dengan lama sehingga hanya suara gemirisik air yang tertangkap oleh pendengarannya.

Alaric tersenyum kecil ketika melihat wajah Vania dari samping tengah memejamkan mata dan tersenyum dengan lebar karena dapat menghembuskan napasnya dengan lega.

Hanya melihat mereka berdua bahagia sepertinya tidak mungkin, untuk itu Franky berjalan menghampiri mereka berdua dan mengambil tempat untuk berdiri di samping Vania. Kini, baik Alaric ataupun Franky, mereka sama-sama memandangi wajah gadis di tengah mereka dari samping.

"Bagus ya pemandangannya," ungkap Vania sembari menyebarkan senyum manisnya ke samping kanan dan kirinya.

Kedua pria yang berada di samping Vania buru-buru mengangguk mengiyakan.

"Lo bahagia?" tanya Alaric ketika Vania kembali menikmati pemandangan.

"Ya iyalah gue bahagia," jawab Vania sembari menolehkan pandangannya pada Alaric, "lo berdua udah ajak gue ke sini, dan gue bahagia banget bisa dateng ke sini sama kalian."

Alaric maupun Franky berharap bahwa Vania memang benar-benar bahagia saat ini.

"Maafin gue ya."

Franky memberikan jari kelingking tangan kanannya ke hadapan Vania sampai gadis itu hanya memandangi jari itu tanpa bersuara sedikit pun. Kerutan di dahinya tiba-tiba bermunculan karena bingung harus berbuat apa dalam keadaan seperti ini.

"Gue tau kalau jari ini aja nggak akan cukup buat membalas semua perbuatan gue ke lo, Vania. Tapi ... apa lo akan selamanya kayak gini? Terus-menerus membenci tanpa mau kita baikan lagi?" ujar Franky sembari menurunkan tangannya dari hadapan Vania.

Kedua mata Vania berkedip-kedip dengan kedua tangan masih memegangi pembatas jembatan. Perasaannya selalu saja terasa sangat diaduk-aduk ketika dia harus membahas hal ini lagi dan lagi.

Matahari Sempurna (Completed) ✓Where stories live. Discover now