Bagian 2: Roy

5.7K 925 57
                                    

Sabtu siang, sepulang sekolah aku pergi ke ruang guru. Orang yang memanggilku adalah pembimbing klub Jurik. Namanya Narayan atau Narendra—entahlah, yang jelas para siswa sering memanggilnya Pak Seta. Tingginya sekitar 180 sentimeter, berbadan tegap, berkulit gelap, berhidung mancung, dan memiliki bentuk wajah mirip orang India Keling. Rambutnya yang agak panjang dikucir ke belakang. Sekolah ini sangat ketat dalam mengatur rambut dan pakaian siswa, tapi sepertinya mereka tak begitu menghiraukan penampilan guru.

Ruang guru sepi. Hanya ada dua orang guru wanita yang asyik bercengkerama, seorang guru tua yang sedang tidur, dan guru yang memanggilku. Saat kutemui, orang itu tengah asyik membaca teka-teki silang bersampul cewek seksi yang memamerkan belahan dada. Seandainya tak ada tulisan TTS di sampulnya, orang lain pasti mengira ia membaca majalah bokep.

"Oh, Grey," katanya sambil meletakkan TTS-nya di atas meja. "Duduklah."

Aku menarik kursi dan menuruti perintahnya. "Ada apa, Om Roy?"

Ia menatapku sambil tersenyum. "Kita sudah sepakat, 'kan? Panggil aku Pak Seta di sekolah."

"Maaf, keceplosan."

Pak Seta adalah teman ibuku dan tetangga kami. Ibuku biasa memanggilnya Roy, sehingga aku jadi ikut-ikutan. Sampai sekarang pun aku masih lupa-lupa ingat dengan nama aslinya. Agar tak membingungkan pembaca, mulai sekarang kusebut dia sebagai Roy di narasiku.

"Kamu tahu kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Apa aku dapat hadiah?"

Roy mengabaikanku. Ia meraih segelas teh hangat, menyeruput isinya, lalu berkata, "Namamu tercantum di daftar hadir klub Jurnalistik, tapi aku tahu selama ini kamu tak pernah berangkat."

"Oh, jadi soal itu," kataku pura-pura bodoh. "Banyak kok yang begitu."

"Jadi karena banyak yang begitu kamu juga ikut-ikutan?"

"Kenapa cuma aku yang dipanggil?"

"Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."

Aku menghela napas. "Apa salahnya? Siswa wajib mengikuti minimal satu ekskul pilihan. Sedangkan aku sudah masuk klub Jurnalistik. Tak ada aturan yang bilang bahwa siswa wajib hadir dalam rapat rutin klub setiap minggu."

Roy tersenyum. Ia kembali meminum tehnya.

"Perhatikan ucapanmu, Grey, ini ruang guru. Kamu tidak suka kalau ibumu sampai tahu, 'kan?"

"Om mengancamku?"

Roy hanya tersenyum. Meski aku berusaha keras untuk menutupi kecemasanku, telapak tanganku tak bisa berhenti berkeringat. Entah bagaimana raut wajahku di matanya.

"Panggil aku 'Pak'."

"Ini tidak masuk akal," ucapku. "Kalau memang Om mau menyuruhku untuk mengikuti kegiatan klub, kenapa tidak bicara langsung saja? Tidak usah memanggilku ke ruang guru. Merepotkan."

"Bicara langsung? Aku tak ingat kamu pernah mendengarkan."

Jadi dia sengaja memanggilku ke ruang guru hanya agar ucapannya didengar?

"Kamu cuma ikut satu ekskul, 'kan?" tanya Roy.

"Memangnya kenapa?"

"Kalau klub Jurnalistik dibubarkan," ujarnya kemudian. "Apa yang akan kamu lakukan?"

"Maaf?"

"Pendaftaran ekskul lain sudah ditutup sekarang. Kamu tidak punya pilihan selain tetap di klub Jurnalistik, kecuali kamu mau tinggal kelas."

"Tunggu, apa maksudnya klub Jurnalistik dibubarkan?"

Perasaanku tidak enak. Tentu saja kalau satu-satunya ekskul yang kuikuti bubar, aku bakal terancam tidak naik kelas.

"Itulah kenapa aku memanggilmu kemari," ujarnya dengan serius. "Jangan salah paham. Aku cuma mau membantumu."

Itu tak menjawab pertanyaanku.

Roy beranjak. "Kalau kau mau tahu jawabannya, ayo ikut. Aku juga akan memberi pengumuman ke anak-anak Jurnalistik yang lain."

Aku melihat jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul setengah tiga.

***


Mr. I Project: Devil Must DieWhere stories live. Discover now