01. Red

46 4 7
                                    

Wahai lutut,

berhentilah dengan rasa linu yang menderu

dan jangan buat aku menderita lebih lama..

Jadi, lutut... Sembuhlah. Segera.

Terima kasih.

"Ehehe!"

Yes! Itu dia! Cengiran kecil menghiasi wajahnya. Teduh rasaku dibuatnya.

Baguslah! Aku suka melihatnya seperti itu. Sangat suka. Sunggingan kecil di sudut bibir mungil itu membuatnya tampak lebih ceria. Ya. Sudah pasti karena itu.

Asal tahu, ya! Perempuan manis di hadapanku ini pemuram optimum. Ah, tidak-tidak! Bukan optimum, melainkan maksimum!

Aneh? Tentu saja! Untuk seorang event organizer yang harus sering bertemu dengan beragam orang, mimik muramnya itu aneh. Wajar 'kan jika aku berpikiran begitu?

Mestinya wajah bulat telur itu selalu dipenuhi senyuman dan tawa. Akan lebih cocok jika pembawaannya riang, lincah, dan agak banyak bicara. Tetapi, lihat dia! Manusia tanpa senyum. Dasar pemurung akut!

Jangan panggil aku Red jika di hadapanku sikapnya tidak berubah. Aku selalu punya cara merusak hawa sendunya. Bukankah baru saja kubuat dia tertawa? Aha! Kalau begitu, ayo lanjutkan!

"Red, ini apa?" tanyanya seraya menyodorkan kertas. Ada tulisan tanganku di situ.

"Apanya yang apa?" tanyaku seolah acuh. Padahal aku tahu persis apa yang dia tanyakan. Dalam hal akting, kupikir bakatku lumayan bagus.

Ngomong-ngomong, aku suka saat dia menyebut namaku seperti itu. Iya, Red. Aku suka caranya memanggilku. Hanya dia yang memanggilku begitu.

"Red? Ini tulisanmu, kan?" tanyanya lagi. Sinar matanya terlihat berbeda. Seperti.. bahagia? Ah! Aku suka. Bagus!

Oh, satu lagi. Aku ingin dia lebih banyak bicara. Sepelit tersenyum dan tertawa, sahabatku ini jarang bicara. Kadang 'keheningannya' membuatku jengkel. Bukan sekali dua kali aku menyindirnya, 'apa benar kamu itu seorang EO?'. Dia hanya tersenyum dengan ekspresi wajah yang aneh.

"Ehem. Jadi, ini, suratmu? Ditujukan kepada ... lutut.. -mu?"

Dia terdiam. Otomatis aku memandangi kedua bola mata coklat gelap berkilauan di wajahnya. Sinar jenaka itu ada di sana. Di luar dugaanku, ia tertawa, tergelak. Hah? Apa dia benar-benar tertawa? Aku terpana. Dia tertawa!

"Apa seperti ini catatan penyemangatmu hari ini?" Diliriknya sebaris tulisanku di kertas itu. Dibacanya sedikit keras sambil mendekatiku.

"Dear, Lutut, ... jangan membuatku menderita lebih lama! Ahahaha!"

Dia tertawa. Lagi. Wow! Wajahnya jadi lebih manis. Tawanya itu, cerianya itu, sensasi bahagianya itu, 'jleb!' -- mendarat tepat di tengah hatiku.

Eeeh??!

Dag-dag, dig-dig, dug-dug!! Dag-dag, dig-dig, dug-dug!!

Ya Tuhan, debaran apa ini di dadaku? Apa jangan-jangan aku jatuh cinta kepada sahabatku sendiri? O'ow! Adakah tombol 'pause' di sini? Tidakkah waktu dan tempat saat ini kurang tepat, sedikit kurang mendukung untuk jatuh cinta?

Hmm, berhentilah bermain-main dengan hal seserius itu, Red! Lebih baik fokuskan dirimu pada peristiwa fenomenal yang sedang terjadi. Apakah itu? Yap! Si pemurung maksimum, akut, dan manusia paling jarang tersenyum di dunia sedang tertawa di depanmu.

Aku tidak percaya ini! Aku berhasil membuatnya tertawa!

Dan berapa kata tadi yang keluar dari mulutnya? Lebih dari jumlah jari di kedua tanganku? Aha! Red, ini pencapaian yang luar biasa! Si pemurung ternyata bisa tertawa. Sepagi ini, lho! Wah, kau jenius, Red!

Red BromeliaWhere stories live. Discover now