don't you want time to stop?

4.1K 475 89
                                    

◜                     ◝- - ◂ ❚ ♫ ❚ ▸ - -isaac gracie • reverie◟                     ◞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

◜       ◝
- - ◂ ❚ ♫ ❚ ▸ - -
isaac gracie • reverie
◟       ◞

Sahutan 'hm' singkat dari Alam membuat Rahel mendengus. Mengantarkan mereka pada keheningan sementara. Keduanya memandangi langit polos; tak ada bintang bertaburan seperti yang diharapkan. Hanya ada bulan, itu pun cuma sebatas cahaya keperakan samar karena tubuhnya tertutup selaput awan.

Bersisian di taman kompleks pada malam hari sudah menjadi rutinitas Alam dan Rahel. Meski beberapa minggu belakangan frekuensinya berkurang lantaran kesibukan akademik, kali ini adalah kali pertama setelah minggu-minggu yang berat. Mereka menduduki sebuah bangku merah panjang; Rahel menekuk kedua lutut dan memeluknya, sementara Alam menumpukan dua lengannya pada permukaan bangku.

"Lam," panggil Rahel tiba-tiba. "Don't you want time to stop?"

Alam tidak lantas menjawab. "Hah, gimana maksudnya? Kita mati gitu?"

Rahel mendecak. "Bukan. Se-top. Berhenti. Kayak di-pause dulu, gitu."

"Pause, pause, memangnya lagu?" Alam meninggalkan lipatan pada dahinya.

Mendengar itu, Rahel hanya menghela napas berat. Jawaban Alam tidak seperti yang diharapkannya, jadi ia memilih bungkam lagi. Tatapannya tertanam masih pada langit, seolah Rahel memanggil para bintang agar muncul dan memeriahkan malamnya. Sebab sejujurnya, ia butuh penghibur.

"Tumben pertanyaan kamu agak berbobot." Alam memutuskan untuk melanjutkan konversasi yang terputus.

Menahan untuk tidak menjitak lelaki di sebelahnya, Rahel mengeratkan pelukan pada kakinya. Pandangannya menerawang. "Cuma mikir aja, betapa enak kalau seandainya bisa begitu. Waktu berhenti sejenak dan kita bisa bernapas lebih dalam tanpa harus khawatir diburu waktu. Don't you think we're always running from days to days? Berpindah terus, mengejar sesuatu."

Alam bergeming.

Rahel meneruskan, "I think we need a rest ..., don't we? Kalau dipikir-pikir, semua ini melelahkan nggak, sih? Secara fisik dan mental. Babak belur."

Membiarkan jeda berjalan, Alam pun menanggapi, "Nggak butuh waktu berhenti untuk istirahat, Hel. Tiga minggu belakangan, memangnya kamu nggak istirahat? Enak sih yang udah keterima, nggak perlu pusing mikirin ujian tulis, itu pun kalau yakin lolos. Belum lagi tes-tes lainnya. Harusnya aku yang bilang begitu, tahu."

"Ya maaf, aku nggak bermaksud menyinggung kamu. But i know you know what I mean."

"Hm, masa? PD banget."

"Ngeselin banget sih, Lam." Rahel memberengut.

Alam terkekeh. Kini ia berpaling; lebih memilih menilik Rahel ketimbang langit abu di atas.

"Kenapa?" tanya Alam pelan.

"Apanya?" jawab Rahel masih sewot.

"Just spill it out, anything that's bothering you right now."

Rahel menoleh, bersitatap dengan Alam yang menunggu. Gadis itu menggigit bibir dalamnya. Menimbang-nimbang. Membuang muka pada jemari kakinya, Rahel mulai angkat bicara. "Mama masih mengharap aku masuk kedokteran." Jeda untuk menelan ludah. Lalu mengembuskan napas pelan. "Dan semakin ke sini, hal itu malah membuat aku berpikir apakah jalan yang aku mau-yang sekarang lagi aku jalani ini-salah. Bodohnya, aku nggak seberani itu untuk bilang ke Mama kalau yang Mama lakukan begitu mengganggu. Aku takut nyakitin Mama, Lam."

Mereka sempat bertukar pandang sebentar.

"Hel, don't overthink it. Mama kamu mungkin memang masih menyayangkan pilihan kamu, tapi bukan berarti beliau nggak mendukung keputusanmu sekarang."

"I know. Aku cuma ... kesel aja."

Alam mengangguk paham. "Apa kamu menyesal?" tanyanya. Rahel melempar raut tanya. Lelaki itu pun memperejelas, "Pilihan kamu. Kamu menyesal?"

"Nggak tahu ... mungkin, barangkali. Entahlah." Rahel mendengus keras-keras. "Ada apa sih sama stereotip kita? Bukan cuma dokter 'kan yang seberguna itu buat manusia, profesi lain juga. Ya memang sih, dokter keren, tapi menurutku nggak seistimewa itu, deh."

"Sebenci itu kamu sama dokter?"

"Nggak gitu ... tapi ya, aku capek aja. Ini baru Mama, Lam, belum lagi kalau nanti lebaran ketemu saudara-saudara yang lain. Bisa tuli kali kupingku kalau ditanyain melulu 'Kenapa nggak sekalian dokter?' atau dikomentari 'Wah, sayang banget, mau jadi apa kamu?'. Duh, makin kesel aja bayanginnya."

Tawa pendek Alam lepas. Rahel makin merengut.

"Ya udah, buktiin dong kalau pilihan kamu itu nggak salah."

"I will."

"Nah, that's my girl."

Rahel manyun.

[ h e n t i s e j e n a k ]

Mei, 2018.

*

notes:

Siapa yang merasa bisa relate sama Rahel?
Masih ada dua part lagi, I think.
Dan, yang merasa belum nge-play media, buruan play dulu dan baca lagi /maksa. Lagunya enak banget, serius.

henti sejenakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang