#8

22.7K 3.1K 403
                                    

Apa ruginya mengorbankan segala sesuatu demi seseorang yang bagi lo adalah segalanya?”
—Aksara, yang sedang sangat cinta.

***

AKSARA
Jakarta, 10 Juni 2018
“Iya, Sayang.” Rian masih mengobrol dengan pacarnya di telepon. “Ya udah kamu ke sini aja. Pesan taksi online, biar nanti kita bisa bareng, naik mobil aku aja,” lanjutnya. “Oke. Aku tunggu, ya.” Rian menutup sambungan telepon, lalu menatap gue sambil tersenyum lebar.

Detik itu, gue mendoakan dalam hati semoga dia cepat-cepat menikah, biar dia merasakan apa yang gue rasakan. Bagaimana tersiksanya saat perempuan manis yang kita sayang-sayang berubah rese setengah mati menjelang pernikahan. Gue pastikan, senyum di wajah Rian itu akan meluruh berganti ekspresi frustrasi setiap saat. Kan, mampus.

“Cewek lo mau ke sini?” tanya Opang.

Rian mengangguk. “Minta diantar beli skincare.”

“Gue yakin lo yang bayarin,” tuduh Opang.

Rian masih tersenyum, tenang. “Dia nggak pernah minta dibayarin, sih. Tapi ya kali gue cuma nganter, nggak bayarin juga.”

“Gila, skincare cewek kan nguras bak mandi banget harganya.” Opang berdecak kagum.

“Jangan berpikiran cewek gue matre, ya. Karena sebenarnya semua cewek tercipta untuk matre. Makanya, kita, cowok, berusaha untuk nggak kere.” Rian membela ceweknya.

Opang dan gue tertawa tanpa merasa terhibur. Nggak lucu.

Gue juga baru tahu kalau skincare yang bikin cewek-cewek glowing itu harganya bukan main. “Kalau kita ngeluh tentang harga, mereka pasti beralasan, ‘Aku kan dapetin kamu juga karena skincare yang mahal ini, Sayang.’”

“Padahal kamu cuma telenji di depan aku aja, kamu udah bisa mendapatkan aku, Sayang,” balas Opang yang bercandanya kadang kebablasan, bikin Rian yang sedang menyesap kopinya hampir tersedak dan gue terbahak-bahak.

“Eh, ngomongin skincare, jadi ingat Bayu,” ujar Opang tiba-tiba.

“Emangnya Bayu suka pakai skincare?” tanya Rian heran, sambil mengelap sudut bibirnya dengan tisu.

“Bukan gitu. Sapi.” Opang mulai memasang wajah malas. Rian masih belum berubah dan nggak akan pernah kayaknya. “Dia kan kerja di BPOM sekarang kalau nggak salah, jadi pengawas farmasi atau apa gitu gue nggak terlalu ngerti,” lanjutnya. “Lo mau ngundang dia ke pesta pernikahan lo?”

Gue mengangkat bahu. “Tahu, ya. Kadang muak aja gue sama dia kalau udah ngoceh-ngoceh tentang prestasi sama S2-nya di grup chat alumni. Tentang mengoptimalkan masa muda untuk pendidikan dan karier serta pencapaian yang dia gapai itu.” Gue meraih cangkir kopi, tapi ternyata sudah kosong, lalu menaruhnya kembali. “Kadang gue mikir dia lagi nyindir gue, karena di umur 25 ini gue memutuskan untuk  menikahi Sevanya.”

Gue memilih Sevanya, perempuan yang usianya sama dengan gue. Gue dapat keuntungan karena mendapatkan perempuan dewasa yang cara berpikirnya jelas jauh di atas gue. Namun, gue juga menemukan risiko untuk menikah di usia muda karena dia nggak mungkin nunggu lebih lama lagi. Gue harus menukar masa lajang dengan kehidupan rumah tangga. Tapi, apa ruginya harus mengorbankan segala sesuatu demi seseorang yang bagi lo adalah ... segalanya?

“Diemin aja. Biarin dia berkoar sendirian,” saran Opang. “Seekor singa nggak pernah menyahut gonggongan seekor anjing,” tuturnya.

“Singa di hutan, anjing di rumah. Mereka nggak pernah ketemu. Ya memang nggak bakal saling sahut, Pang,” timbrung Rian.

Aksara Sevanya [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang