18. Dinner

32K 1.3K 22
                                    

Lipstik merah menyala, rambut pirang yang terurai indah dan tambahan anting indah yang menggantung ditelinganya dengan merk keluaran ternama Louis Vuitton. Dress berwarna hitam dengan potongan dada rendah tanpa lengan membuat lekuk tubuh tinggi langsingnya terlihat sempurna, belum lagi stiletto dengan warna senada dengan gaunnya makin membuatnya terlihat anggun.

Bulu mata lentik, alis mata yang dibuat setajam mungkin dan cat kuku dengan hiasan khusus. Seharusnya Jane menjadi seorang model dari pada harus bekerja dibalik kamera, tubuh langsing dan wajah yang sangat cantik mungkin dapat membuat dirinya menjadi seorang supermodel ternama, seperti sang ibu.

Jane turun dari sebuah limousin yang telah dipesan Arthur untuk menjemputnya, seorang pria paruh baya membantunya keluar dari dalam mobil dan menggiringnya.

Jane dibuat merasa takjub kembali, Inn at Little Washington. Bibirnya setengah terbuka melihat restoran bergaya klasik yang sudah dirancang seindah mungkin, mungkin ini ide Uncle, batin Jane masih terpana melihat kerlap-kerlip lampu dan beberapa bucket bunga dengan ukuran besar.

Sungguh romantis...

Pria tua tadi mempersilakan dirinya untuk berjalan sendiri seraya menunjuk tempat yang sudah direservasi oleh Arthur, Jane berjalan dikoridor dengan langkah bak model.

Hingga akhirnya, langkahnya terhenti setelah melihat pria itu dari kejauhan. Setelan jas rapi dipadukan dengan kemeja berwarna putih polos didalamnya, tanpa dihiasi dasi tapi tetap memberikan kesan maskulin dan membuat pesonanya kian menguar.

Arthur berdiri dengan senyum mengembang, kedua tangan berada didepan perutnya terlihat sekali kesopanan pria itu.

"Jane" sapa Arthur sambil merangkul pinggul gadis yang telah berhadapan dengannya, jas yang juga berwarna hitam membuat kedua orang itu terlihat serasi.

Jane membalas tatapan itu, tatapan teduh yang tak seperti biasanya. Bahkan meski kerutan didekat mata itu sedikit terlihat tak mengurangi kadar ketampanan pamannya itu.

"Uncle..." balas Jane, tersenyum bahagia memperlihatkam deretan giginya yang putih.

Jane menerima uluran lengan Arthur, besar dan hangat terasa dijemari telanjang Jane meski lengan berotot itu terbungkus dengan kain yang tebal sekalipun.

"kau sangat cantik" puji pria itu ditelinga Jane, seketika membuat pipi Jane memerah.

Jane sebenarnya hampir dibuat bingung, malam ini Arthur sengaja mengundangnya keacara makan malam yang Jane sendiri tidak mengerti untuk merayakan apa. Ia hanya mendapat sebuah pesan singkat dari pria itu yang mengajaknya keluar malam ini dan mengirimkam sebuah paket yang berisikan dress dan segala aksesoris didalamnya.

Jane hanya bisa mengikuti segala perintah Arthur dan meng-iyakan keinginannya, hingga seorang supir pribadi pria itu menjemput dirinya saat malam tiba.

Arthur menggiring Jane kesebuah meja, Jane melihat hanya ada satu meja disana dan tidak ada meja lain. Gadis itu sempat berpikir, apakah seisi restoran telah dipesan oleh pria itu? Karena seingat Jane, saat dirinya memasuki halaman depan hingga belakang ini, Jane tidak melihat satu pelangganpun.

Pria itu kemudian menarik sebuah bangku dan mempersilakan Jane duduk, gadis itu berterima kasih lalu mendudukan dirinya disana dan Arthurpun duduk diseberangnya.

Suasana canggung meliputi Jane, ia tidak dapat berkata apa-apa selain melirik keindahan disana-sini yang telah pria itu buat. Sementara Arthur hanya terus menyunggingkan senyum membuat jantung Jane hampir keluar dari tempatnya, pria itu hanya tersenyum santai sambil terus menatap Jane yang kian lama merasa risih.

"hm, boleh aku tahu ada perayaan apa ini Uncle?" tanyanya tak lama kemudian, memecah keheningan dan ketegangan dirinya ditatap oleh pamannya sendiri dengan cara seperti itu.

"tidak ada." jawab pria itu santai sambil mengelus dagunya sendiri menatap Jane dengan tajam seperti ingin menerkam gadis itu, terlihat bahwa pria itu mencukur habis brewok dan kumisnya membuatnya beberapa tahu lebih muda. Oh, ayolah Jane. Kau mulai banyak berkhayal..

Jane mengenyahkan segala pikiran negatif yang kini mulai menyerang otaknya, ia merutuk dirinya sendiri, mengapa pikiran itu selalu datang disaat yang tidak tepat. Contohnya seperti saat formal dan diarea umum seperti ini.

"uhm, baiklah. Boleh aku memesan Uncle?" tanya Jane lagi berusaha mengalihkan isi kepalanya yang terus tertuju pada segala keindahan pria dihadapannya itu.

"tentu Jane, kau boleh memesan apapun" balas Arthur seraya memanggil seseorang dan siap untuk memesan.

Seseorang berpakaian formal mencatat pesanan mereka dan tak lupa menuangkan wine digelas mereka masing-masing, menu pembuka yang biasa Arthur pesan.

Arthur menatap tajam kearah Jane dengan mata elangnya sembari menyesap winenya, gadis itu juga menegak minuman tersebut sambil menunggu pesanan. Telihat jelas bahwa Jane sedang kikuk yang entah mengapa, mungkin karena ia masih tidak mengetahui tentang rencana Arthur. Pria itu hanya tersenyum simpul.

Gadis itu mengetuk-ngetuk meja, seperti orang yang sedang bosan ia menunggu pesanan yang cukup lama.

"kenapa lama sekali?" ujar Jane mengerutkan dahinya.

Arthur lalu beranjak dari duduknya seraya merapihkan jasnya dan meninggalkan meja, tak menghiraukan Jane yang sedang mematung bingung menatap dirinya Arthur menuju sisi bangunan yang cukup temaram itu.

Jane melirik kekanan dan kiri, ia sungguh dibuat bingung dengan sikap pamannya itu malam ini. Jane lalu mengikuti Arthur, tak ingin ditinggal sendiri diarea yanh cukup luas itu.

"Uncle..." ujarnya setengah berlari menuju Arthur, pria itu kemudian berbalik badan menatap Jane yang sudah berada dibelakangnya.

"mengapa kau pergi dariku?" protes Jane.

"aku tidak pergi darimu, aku menggiringmu kemari" jawabnya dengan suara seraknya.

"lalu kenapa tidak bilang?" tanya Jane lagi.

"Jane Jefferson, maukah kau menikah denganku?"

Pria itu menjulurkan lengannya yang sedari tadi berada dipunggungnya, memperlihatkan kotak kecil dengan benda berkilau didalamnya yang berada digenggamannya.

Jane hampir tidak percaya, ia terkejut bukan main sampai-sampai ia menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangannya. Terharu, ia hampir saja menitikan air mata bahagia saat kalimat itu keluar dari bibir Arthur begitu saja. Tak percaya pria dingin yang selalu menunjukan wajah datarnya itu melamarnya dengan cara yang sungguh jantan, pria yang selama ini tidak pernah terdengar sama sekali kisah cintanya.

Kini berlutut dihadapannya menggenggam benda mungil yang terlihat sangat nyaman dibos kecil beludru berwarna merah terang itu, lutut Jane seakan lemas. Ia ikut berlutut dihadapan Arthur sambil menatap mata dengan alis tebal yang memabukan itu.

"Uncle, kau melamarku?" tanyanya dengan nada tidak percaya.

"kenapa? Kau tidak percaya?" tanya balik pria itu dan akhirnya bulir bening membasahi wajah Jane, bahagia tentu saja. Bukan karena ia dilamar secara sah oleh pria miliarder dan tampan, tapi karena ia sangat mencintai pria itu bahkan sampai ujung tubuhnya sekalipun. Bukan karena ia memiliki segalanya, tapi karena Arthur sudah menjadi pelindung bagi hidupnya...

"Yes Uncle... I do!"

Beautiful Submissive Where stories live. Discover now