09

1.1K 70 0
                                    

Bonjour, Ansel!”

Suara itu masuk ke dalam indera pendengaran Ansel yang masih setengah sadar dari lelap tidurnya. Membuat lelaki itu melengkungkan senyum. Walaupun masih dengan mata tertutup, dia bisa membayangkan cantik wajah yang mendesahkan namanya begitu seksi. Dalam sekelebat, dia juga bisa melihat bagaimana semalam wanita itu melengkungkan punggung ketika mencapai klimaks untuk pertama kali. Itu candu baru untuk Ansel.

Kesadarannya meningkat cepat ketika dia merasa kebas di lengan kanannya. Hembusan napas wanita itu juga terasa di bahu dan dada telanjangnya, membuat Ansel kembali merasakan sisa-sisa gelombang kenikmatan yang dia arungi bersama wanita di sebelahnya. Sudah lama dia tidak bangun dalam keadaan begitu puas dan bahagia. Rasanya dia ingin selalu begitu setiap pagi.

“Pesawat kamu jam berapa?” tanya Ai.

“Hm, pesawat?” ulang Ansel. Dia masih tidak ngeh kalau hari ini dia harus kembali ke Jakarta. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah keinginan mengulang aksi yang mereka lakukan semalam. Ansel tidak keberatan untuk sekedar mendapatkan beberapa kali kepuasan lagi hari ini.

“Kemarin kamu bilang, hari ini mau pulang ke Jakarta. Kecuali kamu sedang mabuk, aku anggap informasi itu benar,” kata Ai. Yang mabuk itu kamu, Sayang. Ingin sekali Ansel membocorkan rahasianya.

“Hm.” Ansel hanya bergumam tidak jelas. Dia membuka matanya dan melihat Ai sedang menatapnya dengan mata bulatnya. Menggemaskan sekali. Ansel menyentuh dagu Ai dan menunduk sedikit untuk mengulum bibir manis itu. Ai menyambut ciuman itu dengan senang. Dipejamkan matanya untuk merasakan lembutnya bibir Ansel.

“Kamu nggak perlu urusin kapan aku akan pulang. Tugas kamu cuma memuaskan aku di sini,” ujar Ansel ketika dia melepaskan ciumannya. Lelaki itu dengan cepat membalikkan tubuhnya menindih Ai. “I want more of you, Beautiful.”

Ansel tidak membuang waktunya. Dia hanya ingin tubuh mungil itu berada di bawah kendalinya lagi. Lelaki itu menyukai kepasrahan Ai ketika dia berulang kali menaklukkannya.

Ansel merasa tubuh Ai menegang ketika dia mulai menjelajahi kulit polosnya. Disentuhkannya bagian bawah tubuhnya di sela paha Ai, membuat wanita itu mencengkram lengan Ansel dengan sedikit keras.

Wanita itu teringat nyeri yang dasyat ketika Ansel menyatukan tubuh mereka untuk pertama kali. Butuh lebih dari tiga menit Ansel harus menahan diri bertahan di posisi yang sama, sebelum akhirnya dia memimpin wanita itu mendapatkan pelepasannya.

I’ll be gentle, Darling!” bisik Ansel. “Jangan tegang, nikmati saja. Ini bukan pertama kalinya lagi.” Ai menelan ludah. Dia masih sempat bertanya pada diri sendiri mengapa dia bisa setuju melakukan ini semua dengan Ansel. Menyerahkan kehormatannya sebagai seorang perempuan kepada lelaki itu semalam. Namun, ketika dia berpikir lebih jauh lagi, menyerahkan diri pada lelaki yang telah mengisi hatinya sekian lama bukanlah sebuah kesalahan fatal. Nyatanya, dia menyukai setiap tatapan Ansel, juga sentuhan lelaki itu di kulitnya. Bahkan ciumannya pun sangat memabukkan. Seolah semua yang ada pada Ansel memang dibuat untuk menyenangkannya.

Ai menjerit tertahan ketika Ansel kembali memasuki dirinya. Menyatukan tubuh mereka dengan cara yang sama sekali tidak dianggap gentle oleh Ai. Seringai senang terpampang di wajah lelaki itu sebelum dia menundukkan kepala dan menciumi leher Ai.

“Kamu benar-benar cantik, Darling,” desah Ansel sambil terus menyentak. Ai hanya bisa menggigit bibir dalamnya, menahan rasa nyeri yang perlahan berubah menjadi kenikmatan.

Desahan yang lolos dari bibir Ai, membuat Ansel semakin bersemangat. Erangannya menyatu dengan lenguhan Ai. Ansel berusaha mengabaikan rasa sakit akibat benaman kuku wanita itu di lengan dan punggungnya. Terkadang dia memang butuh kenang-kenangan atas prestasinya, cukup sebanding dengan kepuasan bertubi-tubi dengan wanita ini.

[Edisi Revisi] How to Let GoWhere stories live. Discover now