D.U.A.P.U.L.U.H

258 30 3
                                    

Sinar matahari menyapa hangat seorang gadis yang sedang membuka jendela kamarnya, menghirup udara pagi sebelum berangkat ke sekolah setelah beberapa hari membolos. Naya mengambil ranselnya, memasukkan selendang berwarna emas di kantong tersembunyi dalam tasnya.

Begitu melangkah keluar kamar, ia menghirup wangi nasi goreng yang baru saja selesai dimasak oleh ibunya.  Duduk berhadapan dengan Ginny, Naya tersenyum manis pada adiknya. Sejak ia terbangun, adiknya itu memanggilnya Putri Tidur.

Sendok dan garpu tertata rapi di depan Naya, ia menghela nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. Mengingat bahwa dirinya sudah tidak bisa sembarangan seperti dulu, ia tidak boleh bertingkah seperti rakyat biasa. Itu yang ia ingat dari kejadian malam yang sangat panjang.

"Sini Bunda ambilkan nasinya," ujar Vera sembari menyendok nasi ke dalam piring Naya.

Naya mengambil sendoknya setelah berterimakasih kepada ibunya, tak lama kemudian Erlang keluar dari kamar dengan menenteng tas ranselnya. Semalaman ia tidak bisa tidur karena ada beberapa gangguan dan hari ini adalah hari pertama UAS. Rasanya kantung matanya hampir gembung dan sudah menghitam. Ayahnya menyapa dengan menepuk pundak Erlang, setelahnya mereka siap untuk memulai sarapan.

Keluarga itu menyantap sarapan dengan hening, hanya suara sendok garpu yang bertemu dengan piring dan kunyahan Ginny yang lahap sekali menyantap makanannya. Setelah menyendok suapan terakhir, Naya beranjak dari meja makan. Pamit kepada kedua orang tuanya lalu berjalan menuju pintu rumah.

Erlang cepat-cepat menyusul Naya, namun adiknya itu tak ia acuhkan. Naya berjalan lurus sembari menghela nafas yang panjang.

"Aku bisa menjaga diriku sendiri," ucapnya pada angin atau pada orang yang selalu bersamanya.

Tak ada jawaban dari siapapun, Erlang yang berjalan di belakang Naya merasakan angin dingin berhembus. Kehadiran penjaga itu sudah semakin jelas terasa.

Beberapa meter di depannya, Naya melihat ransel polkadot berwarna ungu yang sangat dikenalnya. Emily sedang berjalan sendirian di depan. Segera Naya berlari menghampiri sahabatnya itu, Erlang membiarkan dan memberi mereka ruang dengan berbelok arah. Mengambil jalan pintas menuju sekolahnya.

"Emily!" seru Naya sembari menarik tangan sahabatnya dan mengamitnya.

Terkejut dengan siapa yang ada di hadapannya sekarang, Emily hanya bisa menatap bingung tanpa reaksi. Mungkin ia sedang bermimpi saking kangennya pada Naya.

"Emily," panggil Naya, ia mengguncang bahu temannya.

Sesaat kemudian Emily tersadar, "Naya!" serunya sembari memeluk sahabatnya.

"Kamu apa kabar? Aku kangen, rasanya sepi sekali pergi ke sekolah sendirian." Hampir menangis Emily melepaskan pelukannya dan mencubit gemas pada Naya.

"Ouch," Naya mengaduh. Ia membalas dengan cubitan pipi, dua remaja itu tertawa bersamaan lalu berjalan beriringan. Menelurusi jalan di bawah terik matahari pagi, hati Emily merasa lega karena Naya sudah kembali. Namun tak ada sepatah pertanyaan pun keluar dari mulutnya perihal menghilangnya Naya. Erlang benar, tidak semua tentang Naya ia wajib tahu. Suatu saat dengan sendirinya Naya pasti akan bercerita jika ia mau dan Emily tidak ingin menjadi seorang yang egois dan pemaksa.

"Emily, kamu baik-baik saja kan?" tanya Naya menyelidik, ia merasakan perubahan pada Emily. Sedikit berbeda, bukan seperti Emily yang ia kenal.

"Baik."

"Sehat?"

"Sehat."

Jawaban singkat dari Emily membuat Naya tambah bingung, disimpulkannya saat itu juga bahwa Emily sedang sakit. "Sakit kali, kok tumben diam begini?" tanya Naya penasaran. Ia merasa tidak tenang jika sahabat yang biasanya cerewet terlihat diam.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 03, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Half Blood PrincessWhere stories live. Discover now