22 || Cemburu

Mulai dari awal
                                    

"Pintar?"

"Kayaknya iya."

"Anak mana?"

"Dari staff marketing, sih. Katanya, dia ngelihat Pak Arraf pas presentasi kemarin. Terpesona kayaknya semenjak itu."

Karyawan lain di meja itu tertawa dan bersorak menggoda. Arraf tersenyum miring. Dia tak pernah menutup kesempatan bagi perempuan untuk mendekatinya, selama dia dan perempuan itu masih lajang, tentunya. "Mana sini foto temenmu."

"Wah, tertarik!" seru Shafa. Dia membuka ponsel dan menunjukkan sebuah foto dari galerinya kepada Arraf. "Tuh, Pak. Yang pakai baju bunga-bunga."

Mata Arraf cepat menilai sosok perempuan yang ditunjuk Shafa. Benar cantik rupanya. Wajar juga berhubung perempuan itu masuk bagian marketing yang memang harus berpenampilan menarik. Namun tentu, bagi Arraf, cantik saja tidak cukup. "Kamu dekat sama dia, Shaf?"

"Nggak terlalu sih, Pak. Dia temannya teman saya. Beberapa kali ngobrol, anaknya baik, kok." Shafa tersenyum. "Mau dikenalin?"

"Kan, dia yang duluan tertarik. Dia aja sini yang kenalan sama saya." Arraf menyeruput tehnya. "Kalau dia berani, sih."

Shafa terkekeh. "Ntar deh, Pak, saya tanyain. Kalau udah dikasih lampu ijo gini kan, lebih enak dianya deketin."

"Suruh buruan," ujar Arraf, tersenyum miring. "Keburu saya taken sama cewek lain."

"Wuaduh!" seru Shafa dan beberapa karyawan lain di meja itu, kemudian disusul dengan sorakan kecil. Mereka tertawa bersama.

"Yha, Pak Arraf mah jarang ngejomblo," ujar Arisa, salah satu karyawati lain. "Palingan nggak ada dua bulan putus, langsung dapat pacar lagi. Yang minat jadi pacarnya banyak, euy!"

Arraf mendengus. "Ngefans amat kamu sama saya sampai ngitungin berapa lama saya ngejomblo."

Muncul sorakan lagi. Makan malam mereka sudah hampir habis. Beberapa masih menyelesaikan makanan atau minuman mereka. Di tengah itu, sambil menghabiskan tehnya, Arraf menatap sekitar. Pandangannya seketika terpaku pada sosok gadis berambut seleher, tengah memasuki restoran Jepang yang dia singgahi kini. tiba-tiba muncul di pintu masuk restoran Jepang yang dia singgahi sekarang. Arraf segera menurunkan cangkirnya, fokus dan mempertajam pandangan ke arah perempuan yang senantiasa dia pikirkan tiap malam itu. Riv, pikir Arraf. Beneran Riv. Tapi, ngapain itu ada cowok gandeng-gandeng tangan dia?

Arraf tentu tak bisa protes jika memang Riv berkencan dengan lelaki lain. Mereka berdua masih sama-sama lajang, jelas bebas untuk berkencan dengan siapa pun. Arraf tak memiliki hak untuk melarang Riv dan inilah yang membuatnya gatal ingin memiliki gadis itu secepatnya. Dia tak ingin Riv menjadi milik lelaki lain. Dia tak mau Riv bergandengan tangan dengan lelaki lain seperti orang pacaran. Dia tak mau Riv tertawa dan akrab dengan lelaki lain seperti sepasang kekasih yang mesra. Dia tak ingin Riv merasa dekat secara emosional dengan lelaki lain seolah hanya lelaki itu yang mampu memahaminya. Dialah yang harusnya dekat secara emosional hingga Riv merasa aman bersama dirinya, bisa memercayainya seutuhnya.

Arraf tak suka melihat apa yang dilihatnya sekarang.

Pandangan Arraf yang tak lepas dari Riv seketika terasa oleh gadis itu. Riv mengerlingkan mata ke sekitar dan menemukan mata Arraf. Alisnya bertaut, tetapi kemudian dia tersenyum dan melambaikan tangan.

Arraf hanya tersenyum tipis, ikut melambai dengan hati sedikit tercubit. Tentu, dia bisa saja berkencan dengan gadis lain. Namun melihat ini membuat egonya sedikit tergores. Mungkin karena dia sadar bahwa dari semua perempuan yang dekat dengannya belakangan ini, Riv-lah yang paling dia inginkan. Dia suka mengobrol dengan Riv bahkan sampai berjam-jam. Dia mau mengetahui dunia Riv sebab cara pandang Riv bisa begitu berbeda tetapi sampai pada kesimpulan yang mirip dengannya. Dia tak paham bagaimana seseorang yang begitu berbeda dengannya bisa memiliki kesamaan-kesamaan yang tak dia duga, kesamaan yang jarang dimiliki orang lain.

Rotasi dan RevolusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang