Waktu 14: Panggilan

468 67 0
                                    

Jakarta, April 2017.

"Ada kajian, Mas?" tanya Irsyad bertanya ke orang sebelahnya. Entah siapa.

"Inshaa Allah ada, Mas," balas orang yang berada di sebelah Irsyad. "Biasanya setiap Rabu malam, pasti ada yang ngisi."

Irsyad hanya mengangguk. Mengerti. "Terima kasih, Mas," balas Irsyad.

Lelaki yang duduk di sebelah Irsyad langsung berpindah duduk. Ke shaf yang lebih depan dibandingkan tempat ia solat. Irsyad memandang ke arah sekitarnya. Semuanya merapatkan diri ke depan.

Irsyad melirik pintu tempat tadi ia masuk. Banyak orang yang menumpuk di sana, menunggu tempat untuk duduk di dalam sepetak taman surga ini. Irsyad menghela napasnya. Bagaimana ia mampu berada di sini? Bagaimana ia mampu datang ke sini? Bukankah tadi ia hanya ingin solat Maghrib saja? Kenapa lanjut ke Isya?

Dan kini ...

Irsyad berada di tengah orang yang berkumpul di secuil taman surga. Irsyad melirik jam tangannya.

Apa salahnya mendengarkan kajian? Toh juga nggak akan lama, rumah juga tinggal ngesot, sontak suara hati Irsyad bergumam. Menyuruhnya untuk tetap tinggal dan menikmati setitik air untuk menyegarkan hidupnya.

Ya elah, Bro. Kasur lo lebih enak dibanding duduk di sini. Palingan juga lo ngantuk, suara hati Irsyad yang lain memberikan gumaman.

Irsyad menundukkan kepalanya. Bagaimana ia harus memutuskan? Ia capek, itu pasti. Kantornya di Kemayoran dan rumahnya di Kebayoran. Lumayan sih, tapi macetnya itu yang buat penat.

"Syad, lo disini juga?" tanya seorang lelaki yang sudah duduk di sebelah Irsyad. "Lo mau ikut kajian?"

"Damar?" tanya Irsyad bingung. "Lo ngapain disini?"

"Habis solat Isya tadi, terus kajian," balas seorang lelaki yang bernama Damar. Teman satu kantor dengan Irsyad. "Lo sering ke sini?"

"Nggak sih. Ini baru yang pertama kalo ke kajian di sini," balas Irsyad. "Lo sendiri?"

"Lumayan lah. Selama Ust. Nuzul ngisi di sini, gue usahain ke sini."

"Rumah lo bukannya di Depok ya?"

"Al-Azhar-Depok nggak sampai sebulan kali," balas Damar bercanda. "Setidaknya masih ada KRL lah nanti dari Cawang, inshaa Allah. Kalo nggak ya gue nge-bis."

Irsyad memandang teman sekantornya itu. Begitu semangatnya Damar yang rumahnya di Depok untuk kemari menimba ilmu. Setau Irsyad, kajian di Al-Azhar selesainya malam dan besok masih bekerja. Apakah Damar tak merasa capai?

Sedangkan Irsyad?

Irsyad hanya bisa menghela napasnya. Memandang Damar yang sudah mempersiapkan note kecil dan juga pulpennya. Tak ada raut lelah dalam wajahnya.

Sedangkan Irsyad?

¤¤¤

"Lo nggak capek apa, Dam?" tanya Irsyad yang nggak bisa memendam pertanyaannya. "Lo baru balik jam segini dari sini. Belom lagi lo ke Depoknya. Terus besok, lo harus berangkat pagi lagi. Badan lo nggak remuk?"

"Inshaa Allah nggak," balas Damar sambil meminum air mineralnya dari dalam botol. "Toh juga, Depok nggak jauh-jauh amat kan ya? Kalopun ngebis, inshaa Allah jalanan juga sepi. Apalagi naik KRL. Inshaa Allah."

Irsyad baru saja sampai di kamarnya. Ia langsung menaruh tasnya di atas meja belajarnya. Langkahnya gontai menuju kasurnya yang nampak rapi. Irsyad langsung melemparkan dirinya ke atas kasur yang empuk. Tubuhnya memang di sana, di atas kasur yang empuk. Namun pikirannya?

"Emang nggak ada yang ceramah di daerah elo apa, Mar? Sampai bela-belain ke sini?"

"Banyak sih, tapi ya gitu ..." balas Damar sambil menselonjorkan kakinya. "Ilmu harus dikejar kemanapun. Apalagi ilmu agama. Banyak tabi'in yang harus menempuh jarak sampai ratusan kilometer hanya untuk sebuah hadist," tambah Damar dengan senyumannya. "Beda dulu, beda sekarang, Syad," tambah Damar sambil menatap Irsyad. "Jika dulu para ulama mampu berjalan kaki dari Iraq ke Madinah, kenapa gue nggak bisa? Padahal rumah gue cuma di Depok. Nggak jalan kaki juga."

Jika dulu para ulama mampu berjalan kaki dari Iraq ke Madinah, kenapa gue nggak bisa?

Irsyad menghela napasnya. Panjang dan dalam. Mencermati setiap perkataan teman sekantornya.

Padahal rumah gue cuma di Depok. Nggak jalan kaki juga.

Damar mampu dari Depok ke Al-Azhar. Sedangkan Irsyad?

Irsyad memejamkan matanya. Menghirup udara dingin yang mulai menyelimuti ruangan kamarnya. Ada sebuah sentuhan ringan, namun sangat terasa sakit di dadanya. Sentuhan halus, namun mengapa begitu sesak?

Fabiayyi aala'i rabbikuma tukadziban.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Irsyad terlentang di atas kasur empuknya. Menatap langit ruang kamarnya. Hembusan napasnya terdengar jelas di ruangan sepi ini.

"Padahal rumah gue cuma di Depok. Nggak jalan kaki juga."

Sedangkan Irsyad? Ia tinggal ngesot saja sudah sampai di rumahnya. Nggak nyampe lima menit jika naik motor plus nggak macet. Hanya seperti itu. Tapi ... mengapa ia mengabaikannya? Tak hanya sekali, namun berulang kali.

"Lo nggak capek apa, Dam?"

Bahkan jarak rumah lo cuma lima menit dari masjid, Syad! Tapi lo masih bilang capek? ucap Irsyad dalam hatinya.

"Emang nggak ada yang ceramah di daerah elo apa, Mar? Sampai bela-belain ke sini?"

Lo yang jaraknya dekat, kenapa malah jarang ke sana? Kenapa, Syad? Kenapa? tanya Irsyad pada dirinya. Dengan amarah yang entah bagaimana bisa berubah menjadi tangis.

Ya ... Irsyad menangis. Dalam heningnya malam di kamarnya. Menagisi dirinya sendiri. Menangisi betapa lemahnya imannya. Betapa dirinya lemah. Sangat lemah. Rapuh, layaknya kayu yang termakan rayap.

"Astagfirullah ... Astagfirullah ... Astagfirullah ..."

¤¤¤

Sungguh pendengaran manusia itu, penglihatannya dan apa yang di pikirkan, itu akan ditanya sama Allah. 'Hey! Saya perlihatkan orang sholat didepan kamu pada saat itu supaya kamu tersentuh. Ya, mudah bagi Saya menjalankan engkau di tempat lain.' Jadi teman-teman coba berpikir ya, kalo sedang jalan di mobil, terus tiba-tiba anda melihat masjid dan orang sholat. Coba renungkan baik-baik, kenapa anda diperkenankan lewat situ? Padahal mudah bagi Allah menjalankan anda lewat jalan yang lain. Kenapa cuma anda yang melihat? Yang lain tidak? Jadi kalo sudah anda diperlihatkan dengan pandangan anda, belum tersentuh jiwa anda untuk mendekat kepada Allah, anda perlu diperlihatkan apalagi? Nah kalo ada yang demikian belum tersentuh pandangab kita, belum masuk ke hati. Coba lihat, barangkali dalam sehari itu mata kita sering lihat yang salah. Lihat di handphone, melihat gambar yang tidak baik, berita yang tidak baik, di tv yang tidak baik. Makanya ketika melihat yang baik-baik tidak ada sentuhan. - Ust. Adi Hidayat (Masih Belum Tersentuh Juga?)

¤¤¤

WaktuWhere stories live. Discover now