Waktu 1: Mata Melihat

1.8K 133 9
                                    

Jakarta, September 2016.

"Ini kenalin, Fiandra, pacar gue," ucap seorang lelaki memperkenalkan pacarnya ke seorang perempuan yang nerada di hadapannya.

"Fiandra," ucap sang pacar memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya.

"Hanin," ucap perempuan yang berada di hadapan lelaki itu. Membalas uluran tangan sang perempuan.

"Kamu udah lama, Yang?" tanya Fiandra ke lelaki itu.

"Nggak, baru aja," balas lelaki bernama Andika Afnan. Atau Hanin, biasa memanggil dengan nama Dika. Sahabat Hanin semenjak kuliah.

"Kamu udah pesenin aku?" tanya Fiandra sambil melihat menu makanan.

"Udah kok, Sayang ..." ucap Dika mesra.

"Makasih, Sayang ..." balas Fiandra.

Hanin?

Rasanya Hanin ingin sekali muntah sejadi-jadinya. Mendengar kata 'Sayang' dari mulut keduanya membuat Hanin enek. Hanin tidak cemburu, cemburunya sudah hilang ketika ia tau jika Dika berpacaran. Sakit hatinya sudah lenyap ketika ia melihat perbedaan sikap Dika.

Semenit sebelum Fiandra datang, Dika masihlah Dika yang Hanin kenal, tapi dihadapan Fiandra, Hanin tak melihat Dika yang biasanya. Yang tegas, berwibawa dan masih banyak ekspetasi Hanin tentang orang yang pernah mengisi hatinya sampai beberapa saat lalu.

Hanin memperhatikan sikap keduanya. Layaknya orang pacaran umumnya. Sayang-sayangan di depan umum. Membuat kening Hanin berkerut. Inikah Dika yang dulu mengenal agama lebih baik dari Hanin? Inikah Dika yang dulu berkicau jika pacaran itu hukumnya haram? Inikah Dika yang dulu, yang berdiri tegap bersama kami melawan kedzoliman yang pernah kami alami?

Bukankah dia mengerti agama? Bukankah dia membaca Al-Qur'an? Bahkan dulu, puasanya lebih kencang dibandingkan Hanin. Duha, tahajjud, semuanya yang Hanin perkirakan dulu, mengapa semuanya berubah seratus delapan puluh derajat?

Hanin menghela napasnya. Ia tidak cemburu pada kemesraan yang ada di hadapannya. Ia malah merasa jijik dengan melihat semuanya. Buatnya, kemesraan tanpa ada ikatan halal yang dibuat atas akad, hanyalah kesemuan tanpa akhir. Bermain hati dengan sang pemilik hati hanyalah kesia-siaan.

Adzan terdengar dari kejauhan. Sudah masuk waktu Isya. Hanin mengambil mukenanya dari tas kerjanya.

"Mau solat bareng?" tanya Hanin ke Fiandra.

"Fiandra biar sama gue aja solatnya. Lo duluan aja," ucap Dika.

"Ntar, biar gue sama Dika aja, Nin," balas Fiandra mengiyakan ajakan Dika.

Hanin hanya mengangguk, meski dia ingin sekali meluruskan sesuatu yang menurutnya salah. Hanin melihat raut wajah Fiandra. Hanin selalu menggunakan penglihatannya saat pertama kali melihat. Katanya, first impression akan membantu untuk mengetahui sifat orang yang baru kenal. Tapi itu nggak selalu benar dengan kenyataannya. Hanin pernah salah beberapa kali saat menggunakan prinsip itu. Namun, tak sesekali memang benar apa adanya.

Hanin menghela napas panjangnya. Mengerti tentang keadaan, sifat dan juga arah kemana ia harus mengambil langkah. Mengalah adalah sebuah langkah yang paling tepat untuk menghadapi perempuan yang baru dikenal Hanin.

"Gue duluan," ucap Hanin pada akhirnya. Ia langsung keluar melangkah musholla yang berada di lantai basement pusat perbelanjaan yang terkenal dengan food center nya di daerah Cilandak ini.

Hanin mengambil smartphone nya yang memang kalah ciamik dari smartphone yang dipunyai dua orang tadi. Ada banyak chat WA yang tertera. Dari kantor, dari grup teman-temannya kuliah. Dan juga grup sahabat-sahabatnya. Hanin meng-scrool ke bawah. Ada chat dari Fiza. Teman dekatnya.

Hanin langsung membukanya.

Fiza: nin, lo dimana?

Fiza: lo jadi ketemuan?

Fiza: gimana ceweknya?

Fiza: haniiiiin, jangan buat gue penisiriiin bocah!!!

Fiza: 😑😑😑

Hanin hanya tersenyum. Memang hanya Fiza yang mengerti sesuatu yang tak tampak dari Hanin. Hanin langsung membalas chat teman karibnya itu.

Hanin: lo udah balik?

Hanin: gue kayaknya balik jam 9 dari tj. barat

Hanin berniat memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket. Tak seberapa lama, ada getaran terasa.

Fiza: gue tunggu di tanjung barat!!!

Fiza: lo harus cerita!!!

Hanin hanya bisa tersenyum melihat balasan Fiza. Ada gelengan kepala pelan yang mengiringi ketika Hanin membaca. Ah ... mungkin tak banyak yanh sadar tentang keadaan dirinya beberapa jam lalu. Gelisah tanpa henti. Namun sang pemilik hati telah menenangkannya. Menenangkannya dengan cara yang luar biasa. Dan Hanin sangat bersyukur akan itu.

¤¤¤

Aku pernah merasakan semua kepahitan dalam hidupku dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia. - Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu.

¤¤¤

WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang