PROLOG

3.6K 206 121
                                    

Al-Qatai, Kairo -Mesir. 17 April 2018
Gema Adzan berkumandang, pendar cahaya lampu menyilaukan mata. Beberapa menit, aku mengumpulkan kesadaran. Setelah membaca doa bangun tidur, aku segera bergegas mengambil air wudhu. Suhu di kamarku terasa dingin, aku sedikit menggigil dibuatnya. Sepertinya bukan karena pengaruh AC saja yang membuat hawanya begitu dingin, tapi suhu di luar kamar nampaknya ikut berpengaruh.

Aku mengambil baju koko di lemari dan memakainya. Aku meraih peci berwarna putih di atas meja belajarku, lalu menatap cermin. Setiap kali aku melihat peci ini, selalu saja teringat dengannya. Sudah dua tahun berlalu dia menghilang dan satu-satunya yang tertinggal hanya peci ini saja serta kenangan kebersamaan kami.

"Lo ke mana sih, Za? Setidaknya Lo bilang sesuatu sebelum pergi meninggalkan gue."

Wajahku berubah sendu, namun cepat-cepat aku mengembalikan raut wajahku. Tenang saja, aku percaya Allah akan mempertemukan aku secepatnya dengan Aiza Hilya. Perempuan yang sangat berpengaruh di kehidupanku, satu-satunya orang yang mengajarkan aku agar lebih menghargai hidup ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4.10 EET (UTC +2), aku segera mengambil syal dan melilitkannya di leher lalu segera menuju mesjid Ibnu Tulun yang berada di kawasan Al-Qatai, Kairo-Mesir. Aku memastikan kamarku terkunci dengan baik, InsyaAllah kamarku sudah aman.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salamku pada Fauzan saat bertemu di jalan.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawabnya sembari bercipika-cipiki denganku, salam yang dilakukan ketika sesama kaum muslim bertemu.

"Sehat kamu Wira?" tanyanya.

"Alhamdulillah Zan, rahmat kesehatan dari Allah SWT tak pernah putus." Aku mengepalkan tanganku dan mengangkatnya dengan semangat.

Fauzan tersenyum. "Masha Allah, Dayiman Muntan." Lelaki keturunan Tionghoa-Sunda itu merangkulku menuju rumah Allah.

Seperti inilah kehidupanku setelah menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar di Kairo, Kota terbesar di Timur Tengah dan sering disebut dengan kota Seribu Menara ini membuatku lebih dekat dengan Allah SWT. Meski mama sangat tidak ingin aku menempuh pendidikan di Kairo, namun pada akhirnya ia harus menerima keputusanku. Aku sadar bahwa masa remajaku begitu bobrok, maka dari itu aku ingin memperbaikinya. Bukankah Tak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik? Aku percaya Allah tak pernah meninggalkan hambanya.

Aku tersenyum. Pada akhirnya, aku membenarkan perkataan Aiza bahwa seburuk apapun sifat manusia dan sebejat apapun ia berkelakuan maka Allah SWT adalah tempat terbaik untuk kembali.

Semestinya Aiza bangga padaku, karena aku berhasil berada di Kairo dan masuk salah satu universitas terbaik di sini. Yah, setidaknya jika ia tidak berada di sini, Ardi Wiranata lah yang mewakili semua impiannya.

***

"Wir, gue yakin banget kalau yang gue liat di Felucca Sungai Nil itu Aiza," yakin Reza.

Entah sudah berapa puluh kali ia mengatakan hal yang sama, Muhammad Reza adalah sahabatku. Kami sudah berteman dari SMA, bahkan hubungan kami sudah seperti saudara. Lihat saja, lelaki berkulit sawo matang itu bahkan mengikutiku hingga ke Kairo.

Aku menaruh secangkir teh yang sudah kubuat di hadapan Reza, lalu kembali ke meja belajarku. Aku harus segera menyelesaikan makalahku, tugas yang diberikan oleh Profesor Ali.

"Wira, dengar dulu lah." Aku hanya menoleh padanya tanpa menanggapi ucapannya.

"Gue bisa buktiin ucapan gue, kalau lo nggak percaya. Besok setelah shalat jumat, kita ke Sungai Nil."

Jodoh Untuk WiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang