PERHATIAN : masih terdapat beberapa kekurangan dalam cerita seperti typo, kesalahan penulisan hal-hal yang berbau Korea. Jangan membandingkan dengan RL, ini hanya cerita.
Blurb :
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun keduanya sepakat u...
"Terima kasih, Park Gwen," gumam Ceye sekali lagi, dengan nada lirih, masih dengan mata memejam lembut, bahkan Ceye tak segan untuk tersenyum dan memanyunkan sedikit bibirnya seperti orang yang hendak menyosor sesuatu.
Itu berlangsung selama beberapa detik sampai sebuah benda empuk mendarat tepat di wajah Ceye, membuat seketika pria itu terbangun dari mimpi indahnya.
"YA! Kenapa bibirmu condong seperti itu?!" Gwen melihat kedua setelah ia melempar sebuah boneka tepat di wajah Ceye.
Awalnya Gwen ke kamarnya pagi ini hanya untuk mengambil jaketnya, tapi ia melihat Ceye tidur sembari bergumam tak jelas sambil samar-samar seperti sedang menyebutkan 'Park Gwen', ditambah lagi Ceye yang masih memejam itu mulai tampak memanyunkan bibirnya. Saat itu juga, Gwen memutuskan untuk mengambil sebuah boneka wortel tepat ke wajah Ceye, yang seketika membuat Ceye terkejut, bangun dalam posisi duduk, lalu seketika bergerak mundur saat melihat sosok Gwen.
Ceye seperti orang linglung, dengan rambutnya yang berantakan, ia matanya menyusuri ruangan. Ia menatap Gwen lalu bertanya.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"K-ke-kenapa kita di sini? Apa aku pingsan di kebun teh?"
"Kebun teh? Kau itu sudah tidur sejak kemarin sore! Dasar gila!"
Gwen memutar bola matanya, lalu ia memakai jaketnya. Sementara Ceye masih terdiam dengan tatapan kosong juga wajah lemas karena kecewa, rupanya semua itu hanya mimpinya saja.
Lagi pula, jika dipikir-pikir, mana mungkin Gwen bisa secepat itu luluh dengannya? Ceye menatap Gwen yang berjalan ke meja rias untuk menyinsir rambutnya. Sementara Ceye hanya menatap punggung Gwen lalu mendesah pelan. Wanita itu punya pendirian yang kuat. Pada kenyataanya, meski sudah banyak melalui waktu bersama, bahkan terlibat percakapan intens, atau pun sentuhan kehangatan, Gwen masih belum bisa diluluhkan sepenuhnya.
Ceye menggaruk belakang kepalanya, lalu kembali membaringkan dirinya yang mendadak merasa buruk. Biasanya, setelah mimpi indah, orang akan tersenyum, tapi Ceye justru membenci mimpinya karena saat ia bangun, kenyataan lain justru menyakiti hatinya.
"Kau mau kemana?" tanya Ceye dengan suara serak dan masih loyo.
Gwen yang sedang menyisir rambutnya berhenti sejenak untuk menoleh, dia menyipit, memperhatikan Ceye yang terlihat seperti sedang kesal namun dipendam. "Aku ingin ke pabrik untuk bertemu beberapa orang kepercayaan Appa."
"Untuk apa?"
Gwen menghela napas, sebenarnya dia malas menjawab tapi ia tetap menjawabnya. "Kami butuh mengobrol, untuk membicarakan kelanjutan bisnis. Aku akan menunjuk beberapa orang untuk memantau pemasaran teh-nya di pasar, jadi bisnis tidak macet dan aku bisa kembali ke Seoul dengan tenang."
Seketika Ceye bangkit dalam posisi duduk. "Kau akan kembali ke Seoul?"
"Sebenarnya aku masih ingin di sini. Tapi, aku sudah punya beberapa janji, terlebih pada Sona untuk menontonnya. Sejak kecil, Appa mengajariku untuk menjaga janji. Jadi, jika aku tetap di sini, aku justru akan membuatnya sedih."