11 || Kencan

Mulai dari awal
                                    

Telunjuk Riv pun mengetuk tulang pangkal hidung Arraf yang menonjol, yang membuat hidungnya mancung. Dia mengetuk-ngetuk tulang itu beberapa kali hingga Arraf mengerjap dan menjauh, kemudian membuka mata. Dia spontan menguap sambil meregangkan tubuh.

Riv tersenyum melihat Arraf sudah terbangun. "Udah selesai filmnya. Ayo, keluar."

Arraf manggut-manggut, mengikuti Riv sambil mengucek matanya. Dia lalu berdeham saat sudah keluar dari bioskop. "Sori, Riv. Gue emang nggak ada bakat jadi penikmat film. Tidur mulu."

"Eh, seriusan?" Riv bertanya, sangsi. "Tergantung filmnya kali. Kalau film action, gimana?"

"Oh, kalau film action oke, sih. Nggak tidur. Kayak Avengers, atau film-film Marvel lainnya, gue suka nonton." Arraf berpikir sejenak. "Gue waktu nonton Sabtu Bersama Bapak juga nggak tidur kok. Gue suka filmnya walau bukan action."

"Ah, I see. Jadi lo sukanya film action sama film yang lebih kekeluargaan gitu, ya."

"Tepatnya, suka yang realistis, sih. Yang dekat dengan kehidupan. Kalau action suka buat thrill seru-seruan karakternya."

"Suka bacotannya Tony Stark sama Captain America, ya?"

Arraf tertawa. "Suka gue. Adu bacotnya mereka tuh asik banget disimak."

"Ah, jadi lo emang doyan ngebacotin orang, ya."

Lagi, Arraf tertawa. "Lo sendiri? Emang dari dulu doyan ngebacotin orang?"

"Nggak, kok. Mulut gue cuma suka reaktif kalau udah dengerin bullshit."

Arraf berhenti tertawa. "Ini lo secara nggak langsung bilang kalau omongan gue bullshit?"

"Cuma pas awal aja," balas Riv, santai. "Pas lo di awal maksain ngajak jalan, terus malah nyalah-nyalahin gue karena gue nggak cepat menerima ajakan lo. Pembelaan diri lo waktu lo nyalah-nyalahin gue sounds so bullshit." Riv pun menatap Arraf dengan serius, tetapi santai, "Tolong yang kayak gitu jangan diulangi lagi ke depannya. Gue nggak nyaman."

Arraf terdiam, lalu menganggukkan kepala. Dia akui, dia saat itu memang kurang tepat berbicara. "Sori. Gue jengkel banget waktu itu."

"Nggak pernah ditolak pas ngajak jalan, memangnya?" Riv bertanya. "Ditolak sama cewek."

"Enggak. Kalau mereka nolak, pasti ada alasannya. Bukan malah balikin pertanyanyaan kayak 'kenapa gue harus mau?' gitu."

Riv tertawa. Dia pun menepuk-nepuk lengan Arraf. "Lo nganggap penolakan gue sebagai tantangan?"

"Semacam itu."

"Waduh," Riv berhenti berjalan sejenak, kemudian melanjutkan, "Ehm, gue nggak ada niat buat nantangin lo, Raf. Asli. Gue nolak ya karena emang gue nggak mau."

"Karena lo nggak mau kena spotlight."

"Iya, itu. Sama dari awal gue udah tahu sih lo orangnya control freak, semua orang harus melakukan sesuatu persis sesuai rencana. Sementara gue sukanya improvisasi." Riv menatap Arraf. "Eh, tapi ini bukan berarti gue minta lo mengubah diri lo, ya. Kepribadian lo kan emang kayak gitu. Ini yang bikin lo jadi seorang Arraf."

"Iya." Arraf tersenyum, merasa senang. Dia dan Riv berjalan ke eskalator menuju foodcourt. "Kalau sekarang, gimana? Gue kan masih control freak."

"Udah lebih santai, kok. Kan, lo juga terbuka menerima kritik dan pendapat selama itu masuk akal." Riv tersenyum, naik eskalator lagi menuju lantai teratas tempat foodcourt berada.

Ketika berjalan bersebelahan di sisi Riv, Arraf merasakan tangan mereka kadang bersentuhan sepanjang jalan. Dia melirik ke arah Riv yang terlihat fokus menatap ke arah foodcourt, seperti tengah menimang akan makan apa, tak awas dengan mata beberapa lelaki yang terlihat tertarik dengan gadis itu. Arraf pun mendecak. Ini mah enaknya jalan sambil gue rangkul pinggang lo sekalian, Riv. Jadi pacar gue kayaknya susah amat, ya. "Riv, lo suka kalung atau gelang kayak gitu, nggak?" tanya Arraf asal sambil merangkul bahu Riv, membuat tubuh Riv menghadap ke arah toko aksesoris perempuan yang ada di sisi kiri mereka. Jengkel sekali Arraf melihat ada lelaki yang terang-terangan melihat Riv padahal jelas-jelas lelaki itu tengah menggandeng perempuan lain. Mata lo nggak usah jelalatan, elah! Jelalatan sana sama cewek lo sendiri!

"Enggak," jawab Riv, menatap Arraf. "Kenapa?"

"Ah, nggak apa-apa. Cuma nanya aja." Arraf tersenyum tipis. Kemudian mereka berpisah sejenak untuk membeli makanan yang mereka inginkan di foodcourt. Setelah memesan, mereka pun menempati salah satu meja kosong.

Teringat topik tadi, Arraf pun bertanya. "Jadi, lo nggak suka kalung sama gelang. Terus? Lo sukanya apa?"

"Banyak. Kenapa? Lo mau kasih gue hadiah?"

Spontan, Arraf mengalihkan wajah, meredam detak jantungnya yang tiba-tiba mempercepat tempo. "Ge-er amat. Gue cuma nanya ini."

"Gue juga cuma nanya. Kalau nggak benar, selow aja. Nggak perlu berlagak kayak tsundere yang mau bilang iya tapi gengsi gitu," Riv berkata, santai, membuat Arraf sangat tersentil. "Gue mau mengingatkan aja, sih. Kalau lo mau beliin gue hadiah, tanya dulu ke gue, gue lagi butuh barang apa. Baru deh lo beliin."

Arraf mengernyit. Heran dengan penjelasan Riv. "Loh? Terus di mana letak kejutannya?"

"Oh. Lo mau kasih gue kejutan?"

"Gue nggak — " Arraf terdiam, berpikir sesaat, lalu berdeham sambil membuang muka. "Iya, gue mau kasih lo kejutan."

"I see." Riv manggut-manggut. "Saran gue, sih. Jangan kasih kejutan. Belum tentu barangnya berguna buat gue. Kalau nggak berguna kan, sayang nanti kalau barangnya nggak terpakai. Sayang juga kalau dibuang atau dikasih ke orang lain. Kalau gue buang barangnya, ntar elonya sakit hati. Jadi, mending nanya aja gue lagi butuh apa."

Arraf gantian manggut-manggut. Menerima penjelasan Riv. "Jadi, lo emang nggak mau dikasih kejutan? Biasanya cewek-cewek suka dikasih kejutan entah itu bunga, cokelat, novel, kalung, semacamnya."

"Nggak semua cewek," jawab Riv. "Gue suka cokelat dan novel, kok. Tapi, gue lebih suka beli sendiri daripada dibeliin orang. Takutnya kalau dibeliin malah nggak sesuai selera gue, kan sayang." Riv pun teringat sesuatu. "Kalau lo mau beliin gue sesuatu, beliin gue Beng-Beng aja. Gue suka Beng-Beng. Lo mau sawer gue pakai Beng-Beng juga nggak apa-apa."

Arraf spontan tertawa. "Emang lo mau joget biar bisa gue sawer?"

"Enggak, sih," jawab Riv, datar. "Tapi, mungkin mau melakukan hal lain."

"Kayak apa?"

"Lo maunya apa?"

"Gue sih maunya lo jadi pacar gue."

"Oh, itu kejauhan. Gue bisanya yang lebih realistis dikit."

Arraf mengernyit. Dia barusan saja ditolak dan anehnya tak masalah dengan hal itu. "Ya udah deh." Dia menarik napas. Berpikir sejenak. "Kalau ngerangkul, gimana? Pokoknya sepanjang kita jalan, gue boleh ngerangkul lo kapan aja."

Riv terdiam sejenak untuk menimang-nimang. Kemudian dia mengangguk. "Deal."

Mata Arraf mengerjap. Tak yakin. "Eh, seriusan?"

"Serius. Jangan lupa Beng-Beng sawerannya."

Arraf masih mengerjap, tak percaya. Sumpah, dia baru pertama kali bertemu manusia seperti Riv. "Eung, oke." Arraf berdeham. "Tapi, lo nggak serius kan minta disawer Beng-Beng? Paling gue beliin satu dus gitu aja, sih."

Riv tertawa. "Yang dus kecil itu aja gue udah seneng, kok."

Arraf tersenyum. Merasa hangat menatap Riv. Makanan Riv pun datang dan Riv duluan makan. Sementara Arraf hanya tersenyum memandangi gadis yang terlihat kelaparan itu.

Ah, Riv, kapan sih lo jadi pacar gue, pikir Arraf. Gue maunya pacar beneran, bukan teman rasa pacar gini.

[ ].

Rotasi dan RevolusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang