12. Rage

715 47 5
                                    

Jong Kook duduk diam di sofa yang ada di ruangannya. Kedua matanya tidak lepas dari surat kabar berisikan headline dan foto dirinya dengan Ji Hyo. Sementara itu Kap Jin berjalan mondar-mandir di depannya, persis seperti seekor singa di dalam kandang. Hampir lima menit penuh mereka lalui tanpa suara. Akhirnya Kap Jin berhenti, tepat di depan Jong Kook.

"Katakan padaku, apa keputusanmu!" tegasnya.

Jong Kook menyandarkan punggung di sofa. Tangannya mengusap rambutnya sendiri dengan kasar, "Aku tidak tahu," ungkapnya frustrasi.

"Sebenarnya, terlepas dari keputusanmu untuk mengenalkan gadis itu pada publik atau tidak, orang-orang akan segera tahu. Para wartawan sekarang tengah gencar mencari gadis itu."

Jong Kook memejamkan kedua mata, berharap dengan begitu ia bisa mendapat jalan keluarnya.

"Di mana gadis itu sekarang?"

"Di rumah. Aku sudah berpesan padanya untuk tetap diam di sana sampai aku menghubunginya lagi."

Kap Jin mendesah pelan sambil menggelengkan kepala, "Kalau begitu sekarang kita harus menemui Presiden Han dulu. Apapun yang jadi keputusannya, lebih baik Hyung dengarkan, oke?"

"Tergantung," jawab Jong Kook, kembali membuka mata dan bangkit berdiri, bersiap menemui kepala agensi sekaligus produsernya itu, "Aku akan menurutinya kalau memang saran darinya cukup meyakinkan."

***

Ji Hyo menatap tegang pada surat kabar itu. Ia sama sekali tidak berani bergerak, terlebih ketika Dong Wook bangkit berdiri dan berjalan memutari sofa tempatnya duduk dengan kecepatan yang penuh perhitungan.

"Kau seharusnya melihat wajah ibumu tadi malam," kata Dong Wook, masih belum berniat menghilangkan nada sinisnya, "Wajahnya memerah seolah akan meledak."

Ji Hyo bisa membayangkannya. Ibunya pasti sangat murka saat ia melarikan diri tadi malam.

"Tapi aku tidak punya waktu untuk merasa kasihan padanya," lanjut Dong Wook, "Karena aku hanya bisa mengasihani diriku sendiri, yang berlutut seperti orang bodoh di sana, sementara gadis yang kulamar justru kabur meninggalkanku," Rahangnya terkatup rapat seolah ia tengah menahan luka dan amarah yang begitu besar.

"Mm... mian..." ucap Ji Hyo dengan bisikan selembut angin. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan air matanya yang menetes keluar, "Tidak seharusnya aku lari seperti itu."

"Kau tahu apa yang membuatku lebih terluka?" desis Dong Wook. Tidak biasanya ia kehilangan kontrol seperti ini. Amarah dan alkohol menjadi kombinasi kuat yang mendorong akal sehatnya keluar dari pikirannya, "Kau justru menemui lelaki itu! Kau menolak cintaku, menghancurkan hati dan harga diriku, lalu kau pergi ke rumah lelaki itu!" bentaknya keras, "Kau boleh berlari ke mana pun, Ji Hyo-ya, tapi tidak ke rumah Kim Jong Kook! Tidak ke pelukan lelaki itu!"

Ji Hyo hanya diam, menerima semua bentakan Dong Wook tanpa ada niat untuk membela diri, meski ia merasa bahwa lelaki itu tidak punya hak untuk melarangnya menemui Kim Jong Kook.

Napas Dong Wook mulai memburu karena emosi, "Di mana kau tidur semalam?"

Ji Hyo lagi-lagi tidak menjawab. Pertanyaan ini terlalu riskan.

"Kau tidur di rumah Kim Jong Kook?"

Ji Hyo menggeleng.

"Lalu di mana kau tidur semalam?" tanya Dong Wook lagi, sambil mengertakkan gigi kuat-kuat, "Jawab aku, Ji Hyo-ya."

Namun Ji Hyo tetap bertahan. Dong Wook mengumpat pelan. Ia telah sampai pada batas kesabarannya, "Aku tahu dia pasti membawamu kabur ke suatu tempat. Dan mungkin saja kalian tidur bersama semalam, benar?"

다시 (Again)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang