Bab. 2

240K 11K 36
                                    

Penyesalan memang datang terakhir dan itu hanyalah sia-sia.
.............

Saat ini Kiran duduk di balkon kamarnya, setelah mengantar Papa ke kamar yang sudah disiapkan untuk beliau beristirahat.

Tatapan sendu terpancar dari mata gadis itu. sedih, kecewa iya, marah, semua dia rasakan saat ini.

"Gue nggak bakalan nyesel ambil tindakan itu, dia pantes mendapatkannya."

Kirana menghela nafas pelan. Dia tidak ingin melukai perasan papanya yang sedang sakit. Apa lagi sudah lama mereka tidak bertemu. Sejak kematian mama tercinta membuat papa sangat terpukul. Sedih yang tak henti-hentinya sehingga mental beliau terganggu, dan tahu-tahu mendengar kabar kalau Toni menghilang dari kamar. Ketika itu Kirana masih berumur 16 tahun.

tidak ada kabar satu pun tentang keberadaan Toni, keluarga dan sanak saudara sudah merasa kewalahan mencari keberadaan orang tuanya. Kirana tinggal bersama Nenek orang tua dari Toni. Ia dirawat dengan baik oleh Neneknya, menyekolahkan ia hingga lulus di Universitas, dan tiba saat waktu Nenek menghadap pada sang pencipta.

Dari kegigihan Kirana mencari keberadaan orang tua satu-satunya hingga membuahkan hasil. Jika saja Intan sahabat Kirana tidak membawa dia kepesta pernikahan sodaranya ke Depok, mungkin hingga sekarang dia tidak akan pernah bertemu dengan Toni.

Bertemu dengan cara yang sangat membuat hatinya pilu. Terluka melihat keadaan orang tuanya yang lemah, kurus, berantakan tidak terurus, serta mengalami kelumpuhan.
Selama bertahun-tahun papa menghilang, bagaimana cara papa bertahan hidup selama itu? Kirana sangat merasa bersalah pada dirinya sendiri.

Coba dari dulu dia lebih keras lagi untuk mencari sang papa, mungkin keadaan orang tuanya tidak akan sangat parah. 

Air mata yang tadi tertahan kini turun dengan derasnya. Selama ini dia hidup dengan baik, nyaman, tinggal di rumah mewah. Makan dan minum sudah ada yang menyiapkan. Sedangkan papa hidup di jalanan lebih parah dari perkiraannya selama ini. Kirana tidak ingin membayangkan, hatinya benar-benar terluka.

Kirana mencoba menghapus air mata yang membasahi pipi. di lihat layar handphone sejak tadi digenggam. Gadis itu seperti mencari nomor kontak seseorang untuk dihubungi.

"Lagi di mana?" ucapnya dengan suara serak.

"Kenapa beb? Aku Lagi di rumah," jawab sesorang di seberang sana

"Bisa ke sini nggak?" mohonnya sembari menghapus air mata yang terus berjatuhan.

"Kamu kenapa? Ada masalah lagi?"

"Lagi bete aja."

"Ya udah, Tungguin. 15 menit aku nyampe," bales dari seberang dan menutup telfonnya.

Kirana menarik nafas lega menyandarkan kepala di sandaran kursi pandangannya jauh lurus ke depan.

Sejak Kirana hidup sendiri tiada keluarga lain mengunjungi. Cuma Intan satu-satunya yang faham akan dirinya, sahabat sudah seperti sodara.

Tepat 15 menit sebuah mobil sedan putih masuk menuju halaman rumah mungkin itu milik temannya. Kirana bangun dari kursi, melangkah keluar menuju pintu utama. Di sana telah tampak seorang gadis cantik sebaya dirinya mengenakan dress peach melangkah masuk dengan tergesa.

"Are you oke?" tanya Intan setelah melepas pelukannya. Intan memperhatikan sekeliling wajah temannya sembari mendekat."Nangis lagi?"

Kirana menghela nafas berat," kami sudah putus!"

Mata Intan terbelalak, dia kurang faham apa maksud perkatan temannya.

"Duduk dulu yuk, Biar enak bicaranya," ajak Intan menarik Kirana duduk di sofa."Jujur aku nggak ngerti, Ran?"

"Tadi aku berantem sama Davit!" Kirana menarik nafas dalam, dan melanjutkan kata-katanya,"Aku nggak bisa nahan emosi atas kelakuannya, dia udah keterlaluan dan aku bener-bener nggak nyangka dia bakal berkata kasar begitu pada Papa!"

"Emang dia bilang apa?"

"Dia menghina Papa, Intan!"

Intan diam sesaat memberi waktu temannya mengatasi emosi yang hampir meluap.
"Ran? Jujur aku senang kamu putus sama dia....kamu baru tau kan sikap asli dia sekarang seperti apa, dari awal aku emang nggak terlalu suka kamu berhubungan dengan David."

Intan mengambil nafas sejenak.
"Aku harap keputusan yang kamu ambil ini nggak berubah, lupain dia karena dia emang nggak cocok sama kamu, dia itu cowok-Ah-susah ntuk dijelasin!"

Kirana merasa Intan mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui tentang David. Apapun itu dia sedikit bersyukur bisa mengakhiri hubungannya.

"Selama ini aku udah bodoh banget bisa percaya gitu aja sama cowok seperti dia, mulut manis dan rayuan gombalnya kenapa aku begitu gampangnya luluh begitu saja.

Kirana membuang tatapnya ke segala arah untuk mencoba menahan air mata yang ingin keluar. Meski ada rasa lega atas perpisahan tetapi di dalam hatinya masih belum sepenuhnya melupakan David. Kenangan bersama pria itu masih terbayang-bayang di mata. 

Intan mencoba menenangkan mengelus punggung temannya dengan penuh perhatian.

"Ran, Masih banyak laki-laki yang baik di luar sana, aku nggak ingin liat kamu terluka gara-gara putusin cowok sialan itu, jangan tangisi dia lagi, oke?"

"Tapi, Ntan, aku..."

"Tapi apa? Kamu masih sayang sama dia?"

Kirana tak bisa mengelak, sebelum ini hubungan mereka baik-baik saja.

Intan menghela nafas berat,"Aku paham sama perasaan kamu, mungkin bagi kamu nggak semudah itu melupakan David, semua memang butuh proses, satu hal yang harus kamu ingat, kamu cantik, kamu menarik, aku yakin setelah putus dari David kamu bakal temui seseorang yang bisa menghargai kamu dan juga papa."

"Sekarang jalani pilihan yang kamu ambil ini, lihat kedepan jangan pernah mundur lagi, oke?"

Kiran mencoba mengulas senyum tipis, meski ia tak yakin bisa semudah seperti intan bicarakan
"Iya."

"Bagus, sekarang kita fokus untuk pengobatan Papa."

Ya ampun! Kirana baru tersadar dengan tujuannya yang sebenarnya. Sebelum David datang dia ingin membawa papanya ke tempat terapi. Tapi, sebelum sempat keluar langkahnya dicegah oleh kedatangan pria itu. Atas  pertengkarannya pikiran Kirana jadi tak terarah.

"Aduh, Aku bener-bener lupa!"

"Ya udah nggak ak papa lupa adalah penyakit umum manusia, jadi kapan perginya, aku akan temani kamu."

"Beneran?"

"Iyah sayang!"

"Mmm...makasi Intan, kamu baik banget sih!"

Kiran memeluk Intan dengan sangat erat.  Bahagia mendengar bantuan yang diajukan sahabatnya.

"Oke oke, udahan peluknya, nafas aku sesak!" keluh Intan.

"Iihh kamu, nggak bisa liat keadaan apa orang lagi terharu seneng."

"Lebay banget ah, terharu terhura kek, kalau susah nafas ya mau gimana lagi."

Kirana mencubit kedua pipi Intan gemes, membuat gadis seksi itu mengaduh kesakitan.

Berkat dia kesedihan yang seakan mengikis umurnya itu jadi lenyap tak tersisa. Kapan-kapan Kirana harus beri sesuatu untuk Intan sebagai ucapan terima kasih karena sudah Sudi menyisihkan waktu sibuknya untuk menghibur.

Abang Dokter (Pindah Lapak Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang