gadis seputih awan

76 6 2
                                    

Aku hanyalah seorang gadis biasa.

Gadis yang dilahirkan dari keluarga sederhana.

Keluarga yang jauh dari kata harmonis.

Aku bahagia hidup penuh kekurangan dengan hasil yang di Ridhoi-Nya.

Cita- citaku hanya satu; masuk ke perguruan negeri favorit dengan jerih payah sendiri.

Aku mengumpulkan tenaga sejenak di bawah rimbunan pohon. Aku senderkan tubuh mungilku pada batang kokoh kecokelatan seraya menghirup oksigen dalam-dalam lalu aku embuskan kasar. Aku biarkan angin membelai lembut wajah lusuh ini.

Tetesan keringat menjadi saksi nyata semuanya. Aku tidak boleh menyerah. Hari ini aku baru melewati waktu sebanyak delapan jam. Waktu ku masih panjang, kesempatan ku masih banyak, dan peluang ku masih besar. Aku merogoh tas kecil yang tergantung di pinggang, mengambil secarik kertas kecil dan beberapa lembar kertas berharga yang ku dapat beberapa jam lalu.

Aku melihat sejumlah angka yang tertera di kertas kecil sesekali melirik ke kertas berharga di gengaman tangan kananku , bibirku bergerak pelan mengucapkan beberapa angka seraya menggerakan jari-jari kecil ku berurutan.

"Benar, usaha tidak akan mengkhianati hasil," ucapku sambil mengusap kumpulan kertas itu. Aku membuat lengkungan tipis di bibirku, mataku yang kecil ikut menyipit. Aku satukan kedua kertas yang berbeda itu dan aku masukkan kembali ke tas kecil. "Sedikit lagi target ku tercapai."

Angin terlalu asik membelai wajahku, hingga mata ini ikut terpejam. Namun suara tangisan gadis kecil membuat mataku kembali melebar. Gadis itu duduk tidak jauh dariku, hanya berjarak dua pohon. Ia duduk meringkuk di bawah pohon dengan daun yang sudah gugur. Lututnya ia tekuk, dan ia menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan.

Hatiku terusik untuk mendekat. Aku mengelus lembut puncak kepala gadis itu. Ia mendongak dengan air mata menumpuk di pelupuk mata.

"Mbak, mau bantu adek?" Gadis itu langsung memberi aku pertanyaan dengan wajah lesu--seperti memohon, seolah tidak memberi aku celah untuk bertanya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Saya hidup sama ibu, ibu saya menderita kanker dan baru diketahui tadi. Bidan bilang ibu harus cuci darah, satu-satunya cara untuk memperpanjang usia ibu." Air mata gadis itu kembali luruh membasahi pipi bulatnya membuat hatiku bergemuruh. Aku dan gadis ini sama. Kami hanya seorang gadis yang masih membutuhkan orang tua.

Keadaan ibu gadis ini lebih penting daripada masa depanku. Suatu saat aku bisa mencapai cita-citaku dengan cara lebih baik. Tidak ada yang tidak mungkin.

Aku menghela napas lalu mengeluarkan lembaran kertas yang tadi aku hitung. Aku serahkan kepada gadis ini. "Ibu kamu lebih membutuhkan. Semoga ibu kamu masih bisa tersenyum hingga kamu sukses."

Dia memelukku erat, menenggelamkan wajah mungilnya di dadaku. Dapat aku rasakan isakannya yang semakin kencang. Aku tidak menolak, aku membalas pelukannya sambil terus mengusap puncak kepala gadis ini. Seketika senyuman berhasil merekah dari bibirku.

Keranjang Drabble [Selesai]Where stories live. Discover now