"Iya, ini. Tante lagi nunggu teman datang. Mau bareng kami perginya," ujar ibu Arraf. "Eh, masuk aja sini. Ngapain di luar? Pasti Arraf yang nyuruh tunggu di luar, ya?"

"Eung... iya, tapi nggak apa-apa, Tante. Memang saya cuma mau ambil barang aja, kok. Lagian katanya Bang Arraf juga mau pergi."

"Ya nggak apa-apa. Sini masuk, biar dibikinin minum sama si Bibi," ujar ibu Arraf sambil mengajak untuk masuk ke dalam. Mau tak mau, Riv ikut memasuki rumah Arraf bersama Sang Nyonya Rumah. "Eh, namamu siapa, Dek?"

"Saya Riv, Tante," ujar Riv. "Trivia. Biasa dipanggil 'Riv'."

"Namamu unik," komentar sang wanita paruh baya dengan kekehan. "Panggilannya kayak nama cowok. Padahal, kamu manis gini. Tante suka wajahmu, deh. Manis klasik gitu."

Riv tersenyum lebar dengan mata berbinar. Tak ada yang tak suka dipuji, bukan? "Makasih, Tante," ujar Riv. Dan demi kesopanan, dia melanjutkan, "Nama Tante siapa? Biar enak manggilnya."

"Nama Tante Kanya," ujar perempuan itu. "Kamu mau minum apa, Riv?"

"Eh, nggak usah repot, Tante."

"Nggak repot, kok. Tante minta si Bibi bikinkan teh, ya?" Dan tanpa konfirmasi dari Riv, Kanya segera memerintahkan pembantu rumah tangga untuk membuatkan teh.

Riv menelan ludah ketika ibu Arraf menghilang ke arah dapur. Dia hanya melihat-lihat ke lemari kaca sekitar ruang tamu yang berisi berbagai piala dan piagam baik untuk Arraf maupun untuk kedua orangtuanya. Dinding rasanya penuh dengan pigura surat-surat penghargaan. Juara satu lomba pencak silat, juara satu lomba cerdas cermat, penghargaan beragam olimpiade....

"Lo ngapain?" tanya Arraf dengan nada urgensi, seketika membuat bulu kuduk Riv berdiri. Dari wajah Arraf, Riv tahu bahwa Arraf tak merencakan hal ini akan terjadi. Riv juga tak menyangka. Niatnya ke sini kan, cuma mengambil polidopamine dari Arraf, lalu pulang. Bukan datang lalu bertemu hal-hal personal seperti keluarga Arraf. "Siapa yang ngebolehin lo ke sini?" lanjut Arraf.

Riv menoleh, membuka mulut. Kemudian dia menarik napas agar lebih tenang. Wajah Arraf yang terlihat tak terima bagai tanda seru pada papan jalan. Mengharuskannya berhenti detik itu juga. "Maaf, Bang. Tadi saya ketemu ibu Bang Arraf. Beliau yang minta saya masuk."

"Mama?" Alis Arraf mengernyit. "Nyokap gue udah pergi kondangan sama Bokap."

"Hah? Terus yang tadi itu siapa?"

"Raaaf," panggil suara Kanya. Kedua anak muda di ruang tamu itu pun seketika menoleh ke arah sang wanita berkebaya. Seorang pembantu rumah tangga lewat dari belakangnya untuk meletakkan secangkir teh panas di meja tamu, kemudian pergi. "Ih, kamu. Ini ada adik tingkatmu mau kemari, kok kamu nggak bilang-bilang?"

"Cuma sebentar ke sininya kok, Ma. Cuma mau ambil barang," ujar Arraf. "Mama kenapa belum pergi?"

"Loh? Kamu ngusir?"

"Ya... bukan gitu maksudku. Kupikir tadi Mama udah pergi bareng Papa pas aku lari pagi."

"Enggak. Papa mah harus pergi ke rumah Om Darmawan. Mama kondangan bareng teman," ujar ibu Arraf, lalu tersenyum ke arah Riv. "Ayo, Riv. Itu tehnya diminum dulu."

"Ehm.... Iya, Tante. Makasih. Maaf ngerepotin." Riv segera duduk di sofa tamu. Hendak meminum tehnya, tetapi tak jadi karena masih panas. Dalam otak, dia sudah berencana bahwa dia harus segera pergi. Sebab seingatnya Arraf juga sibuk hari ini.

"Jadi, kamu memangnya mau ambil barang apa, Riv?" tanya ibu Arraf, duduk di sofa seberang Riv. Dan meski terlihat enggan, Arraf juga ikut duduk di samping ibunya. Meletakkan sebuah deum berisi cairan yang Riv yakini adalah polidopamine di lantai. Arraf pun terdiam dan hanya mengawasi.

Rotasi dan RevolusiWhere stories live. Discover now