Riv mengangkat alis. "Eh, kalau udah kelar skripsi lo, kasih tunjuk ke gue, ya. Gue mau baca."

Senyum Jazzlyn yang lebar tersungging. "Doain lancar aja, Sister."

"Diaminkan," ujar Riv. "Lo pesan makanan apa?"

"Bakmi, Say. Lagi pengin banget." Mata cokelat Jazzlyn memandangi sup dan iga bakar yang menjadi menu Riv hari itu. "Ah gue tahu nih. Lo pasti ke kantin fakultas gue karena mau makan iga bakar, ya? Biasanya lo emang pesan itu."

Riv tertawa. "Tahu aja."

"By the way, skripsi lo tentang apa, Sis?" tanya Jazzlyn sebelum menyeruput kopi dinginnya. Kemudian, dia mengangkat telunjuk. "Bentar, gue rada nggak yakin nih bisa paham judul skripsi lo. Tapi, coba aja deh. Spit it out."

"Superhydrophobic sponge buat ngeberesin tumpahan minyak, dibuatnya pakai POSS dan polidopamine byssus kerang."

"Pos? Pos apa? Gue mau ngereceh nanya itu pos satpam atau bukan, tapi takut nggak lucu nih."

Riv spontan tertawa. "Bukan, Jazz. Ini POSS singkatan. P-O-S-S itu singkatan dari polyhedral oligomeric silsesquioxane."

Jazzlyn membuka mulut. Menjeda beberapa detik. "Ampun DJ. Aku nggak ngerti apa-apa."

Lagi, Riv tertawa. "Nggak seribet yang lo pikir kok, Jazz."

"Like hell, Einstein Girl. Damn." Gadis berwajah Kaukasian itu geleng-geleng kepala. "Itu judul-judul aneh yang bahkan nggak gue ngerti artinya apa emang selalu dipakai anak-anak FMIPA, ya? Atau cuma lo aja? Soalnya-Eh, bentar. Polidopalala-apalah itu, itu kayaknya gue pernah dengar, deh. Itu skripsinya Bang Arraf bukan, sih?"

Riv menarik napas, menahan diri agar tak memutar bola mata. "Ya begitulah."

"Whoa." Wajah Jazzlyn terlihat takjub. "Jadi, kalian meneliti hal yang sama?"

"Enggak. Kami cuma pakai sumber yang sama aja. Sama-sama pakai polidopamine."

"Mancay," ujar Jazzlyn, lalu dia menerima makanan pesanannya yang baru saja datang. "Gile sih emang Bang Arraf. FMIPA dipegang dia tahun lalu juara Oksigen kampus loh!"

Menarik napas panjang, Riv justru teringat dengan kejadian Arraf mempermalukan Dipa dua tahun lalu. Arraf Abizard Rauf dengan segala prestasi yang ada di pundaknya memang begitu mudah untuk dikagumi. Namun, kendati telah menggebrak mitos dan membuat FMIPA memenangkan Oksigen-atau O2 yang merupakan singkatan Olimpiade Olahraga-Universitas Sapta Husada, satu kelakuan Arraf di masa lalu yang di mata Riv sangat nistalah yang justru Riv ingat.

Kadang Riv berpikir. Kenapa setitik nila seperti kelakuan Riv dua tahun lalu saja bisa merusak segala penilaian Riv kepada Arraf?

"Gila, kan. FMIPA yang biasanya dianggap anak yang academic oriented dan nggak bisa olahraga bisa menang gitu," ujar Jazzlyn sambil mengaduk bakminya. "Walau lebih banyak cewek juga tetap aja. Mantap banget."

"Ilkom sama Geologi kebanyakan cowok, kok," ujar Riv. "Walau jurusan lain FMIPA emang banyakan cewek, sih."

"Iya, tapi, Bang Arraf kan bukan Ilkom. Dia anak Biologi sama kayak lo. Tapi, skripsi kalian kayak lebih ke arah engineering gitu, ya?"

Riv tersenyum. "Biologi emang seluas itu, sih. Kami ambil bidang biomaterial. Polidopamine dari byssus kerang itulah yang jadi biomaterialnya. Kebetulan ada dosen yang juga mumpuni, makanya gue ambil biomaterial. Nggak tahu gimana Bang Arraf."

"Ohh," Jazzlyn pun mendecak kagum. "Terus, lo minta sumber poli-poli lalala itu ke dia? Minta diajarin bikin gitu biar bisa modus dikit?" Jazzlyn terkikik.

Riv tersenyum hambar. Ingin dia berkata, Yakeleus. Gue udah ilfeel duluan sejak dia 'mengajarkan' Dipa cara menjadi lelaki sejati yang baik dan benar versi Arraf. Namun, dia urungkan sebab dia tak ingin membuat persekutuan dengan Jazzlyn untuk tidak menyukai Arraf. Dia tahu Jazz memang masih dekat dengan Dipa. Dan cari masalah namanya jika dia justru membicarakan keburukan Arraf. Bukan karena dia antigosip, tetapi karena dia tak ingin repot jika suatu saat Jazzlyn berencana mendamprat Arraf karena sudah berani mempermalukan Dipa. Akhirnya, Riv hanya menjawab, "Gue emang bakal minta langsung polidopamine ke dia Sabtu ini. Lo mau titip salam?"

Jazzlyn mendengus tertawa. "Kagak. Gue emang kagum ke dia, tapi nggak sebegitu ngefansnya kayak teman-teman gue."

"Aneh. Gue justru malah lebih ngefans sama mantan ketua BEM fakultas lo, Jazz. Baik banget orangnya. Sopan gitu."

"Loh? Bang Arraf emangnya nggak baik dan sopan?"

Riv terdiam. Pertanyaan Jazzlyn membuatnya berpikir. Sebab ya, Arraf adalah pemuda yang baik, sopan, berprestasi dan pastinya menginspirasi. Budak standar masyarakat juga, pikir Riv. But, so does many people in this world, doesn't it? "Dia kayaknya baik dan sopan. Cuma, rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau. Makanya gue lebih suka mantan ketua BEM lo, Jazz."

"Halah, rumput tetangga lebih hijau, tapi ya kita mana tau di rumput itu ada semut tomcat atau enggak." Jazzlyn mengedikkan bahu. "Semoga skripsi lo lancar deh, Riv. Biar kita nggak jadi mahasiswa abadi di sini."

Riv tertawa. "Diaminkan."

Mereka pun membicarakan topik lain yang lebih ringan. Hingga akhirnya jarum jam yang sebentar lagi menunjuk ke angka sepuluh mengakhiri kebersamaan mereka. Riv pun bersiap untuk kuliah. Semester ini dia hanya perlu mengambil empat mata kuliah, sehingga bisa lebih luang untuk mengerjakan skripsi.

Riv sedari dulu tak terlalu suka kuliah yang tak menarik. Dia lebih menyukai bidang-bidang tertentu, dan lebih tak sabar ingin segera skripsi daripada mengerjakan tugas. Skripsi jauh lebih menarik karena mengeksplor ilmu guna menciptakan suatu hasil penelitian baru.

Teringat skripsinya, dia pun juga teringat bahwa dia butuh polidopamine byssus kerang. Riv mendesah. Dia memang harus bersiap untuk ke rumah Arraf Sabtu ini. Hanya mengambil polidopamine. Beres.

Hanya saja, Riv tak tahu satu pertanyaannya kepada Arraf nanti justru membawa hubungan mereka lebih dari sekadar hubungan formal.

[ ].


Rotasi dan RevolusiWhere stories live. Discover now