Jimin ingin sekali menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh karena rasanya terlalu menyakitkan memikirkan hal itu tanpa membuatnya kehilangan pegangan yang membuatnya rapuh. Dia merasa takut, terancam dan sendiri. Apa yang harus dia lakukan dalam situasi seperti ini?

Pilihan yang dia miliki hanyalah berbaring istirahat sampai kondisinya membaik, kemudian mencari jalan keluar. Dia telah memikirkan pelariannya matang-matang. Jendela bobrok itu tampaknya cukup rapuh untuk dipatahkan menggunakan pukulan atau tendangan. Jimin bisa menyelinap keluar, lalu mencari bantuan. Meski dia tak tahu di mana tepatnya dirinya berada sekarang, akan tetapi berpikir tentang melarikan diri dari ruangan ini bisa membantu meredakan gelisahnya. Setidaknya dia tidak dirantai atau diikat.

Beberapa lama kemudian, keadaan di luar mulai melunak. Gerimis lembut terdengar. Jimin tidak meragukannya lagi. Dia mendengar dengan jelas suara-suara lain―yang semenjak tadi tertutup oleh kencangnya deru angin dan badai yang mengamuk―membaur di dalam udara di sekitarnya, Suara rintik hujan yang memercik lantai, keresak selimut yang menggesek tubuhnya, desah napasnya yang berat, bahkan gumam sayup-sayup seperti sekelompok orang yang tertawa.

Jimin menyipitkan matanya ketika menyadari hal itu.

Dia mengawasi sekeliling, kemudian fokusnya terpancang pada pintu coklat yang berdiri beberapa meter tepat di depannya. Suara itu. Suara gumam cekikik orang-orang, pasti berasal dari ruangan lain di luar tempatnya berbaring, tidak terlalu jauh sehingga Jimin bisa menduga mereka hanya berjarak beberapa meter saja.

Siapa mereka? Jimin menajamkan pendengarannya. Kemudian, ada gemuruh tawa yang meledak―suara seorang perempuan, parau dan melengking, seakan tawanya menyembur seperti jarum yang menusuk kuping. Jimin terkesiap karena suara itu mencerminkan aktivitas yang sama sekali berbeda dengan yang dialaminya.

Apakah itu Gong Joo?

Jimin tidak yakin. Seperti ada lebih dari tiga atau empat orang yang saling tertawa dan ... bercakap-cakap?

Dia memaksa dirinya untuk bangkit duduk saat gejolak penasaran menambat lebih dalam di benaknya, lalu rasa sakit langsung menyerang kepala, tengkuk serta kedua bahunya. Lebih dari itu, sengatan perih yang jauh lebih parah juga berdenyut di sekujur kakinya, seakan ada luka basah yang terbuka di pahanya―sumber rasa perih itu. Punggungnya dia sandarkan di tembok. Suhu dinginnya membuat Jimin menggigil. Sepertinya dia agak demam―namun Jimin tidak terlalu peduli, sebab ada sesuatu yang jauh lebih penting untuk menjadi perhatiannya kini.

Jimin menyibak selimutnya perlahan, dan menemukan―di kaki kanannya―celana training hitamnya telah dirobek hingga hanya menyisakan bagian paha saja. Ada bebatan perban di atas lututnya yang dipasang amburadul.

Perut Jimin serasa dipelintir ketika melihatnya.

Dia merenung sejenak, memikirkan bagaimana luka ini terjadi kepadanya. Apakah ini dia dapat ketika tengah melawan keras dari sergapan Gong Joo? Jimin tidak terlalu ingat. Hal terakhir yang diingatnya adalah ketika dia menekan nomor password di pintu belakang dorm―hendak berlari meminta pertolongan sebelum kegelapan lebih dulu menyergapnya. Dia dirobohkan dari belakang oleh tenaga yang tidak main-main.

Gong Joo. Gong Joo memukulnya, lalu sepertinya kepalanya terbentur lantai dan dia pingsan. Pintu dorm itu pasti telah terlanjur terbuka karena sebelumnya dia menekan kode password-nya. Jadi, sudah pasti Gong Joo tidak bertindak repot dengan menyeretnya keluar lewat lubang ventilasi.

Lantas, bila semudah itu Gong Joo membawanya pergi ... luka ini diakibatkan oleh apa?

Jimin menatap balutan perban yang tampak asal itu dengan berlapis-lapis perasaan sedih. Ada sedikit bercak darah yang menembus perbannya. Dia tidak siap untuk melihat luka dibaliknya. Bagaimana bila itu adalah luka meradang yang penuh darah dan nanah? Bagaimana bila lukanya telah membusuk lebih cepat dari yang dia perkirakan? Namun, yang jauh lebih tidak nyaman untuk diutarakan ... bagaimana bila Jimin tidak bisa menggunakan kakinya lagi?

𝐓𝐇𝐄 𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑 | 𝐁𝐓𝐒 Where stories live. Discover now