19 - The Nirvana

4K 879 339
                                    

Nirwana


.

.

.

Awan hitam membubung tinggi diselingi guntur dan kilat yang menyambar pepohonan berkilo-kilo meter dibawahnya.

Pepohonan itu berdiri acak di sepanjang tepian sungai berkelok yang memancarkan riak berwarna hitam dan seakan menggelak seperti lautan lava beku. Sampah-sampah daun kering yang tergilas air berserakan di antara semak dan rerumputan tinggi, membawa aroma tanah lembab yang tajam. Menyusur sekian meter ke selatan, sebuah bangunan besar berwarna kelabu berdiri menjulang di tepi jalan bebatuan sempit. Dalam cengkeraman kegelapan total badai, tempat itu tampak seperti bayangan yang mengerikan.

Di balik celah pagar berkarat yang dibangun mengelilingi bangunan itu, pada sebidang dinding di lantai kedua, kusen-kusen jendelanya telah rusak, ditutup oleh bilah-bilah kayu yang dipaku sembarangan. Kelihatan sia-sia sebab air hujan masih bisa memercik masuk lewat celah-celah yang bolong. Bilamana celah tersebut diintip, akan tampak sebuah ruangan kecil yang suram, mirip sel tahanan terbengkalai―nyaris kosong tanpa perkakas apapun. Hanya ada sebuah dipan yang dihampar di salah satu ujung tembok, dan seorang lelaki yang berbaring diatasnya menggenakan selimut.

Jimin telah terjaga cukup lama, walau pada kenyataannya dia ragu tentang hitungan waktu yang dia gunakan―hanya berdasarkan insting, dia menduga sudah berlalu sekitar tiga puluh atau empat puluh menit semenjak dirinya sadar dari pingsan. Satu-satunya yang menjawab pertanyaan terbesarnya tentang waktu adalah kondisi cuaca yang bisa dilihatnya dari tempatnya berbaring. Langit di luar sana gelap gulita, hujan turun bak air yang ditumpahkan dari ember. Bumi mengamuk, seakan-akan ikut gempar atas nasib dirinya.

Lelaki itu nyaris berpikir dirinya akan mati membeku dalam kecamuk badai, sebab selimut yang menutup sampai dagunya tidak cukup berguna untuk melindungi tubuhnya dari suhu rendah cuaca. Akan tetapi Jimin tahu bila dirinya tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan hangat yang cukup. Dia sudah terlanjur lemah dan tidak berdaya―walau nyeri di leher dan kepalanya entah bagaimana terasa berkurang. Namun, hal tersebut rupanya tidak banyak membantunya untuk lolos.

Kendati tidak berbuat apa-apa, bukan berarti Jimin pasrah dengan nasibnya. Dia berulang kali meyakinkan dirinya bahwa orang-orang itu―yang bersekongkol menculikya―barangkali tidak punya niat untuk membunuh―belum, masih belum.

Sebab, bila niat kejam itu ada, mengapa Jimin masih bisa terbangun di semesta yang sama dan mendapati dirinya terselimuti dengan baik? Mereka bisa saja membunuhnya saat dirinya masih tidak sadarkan diri.

Ada sesuatu. Pasti ada sebuah rencana di balik penyekapannya, Jimin berpikir demikian. Dia mendadak teringat dengan pembicaraan yang didengarnya sebelum dia tergelincir ke dalam kegelapan sekali lagi. Suara seorang wanita dan seorang pria yang tengah adu mulut, bertengkar mengenai alasan di balik penculikannya. Jimin begitu ingat ketika suara berat pria itu menyerukan nama Gong Joo.

Gong Joo ....

Jimin tidak bisa membayangkan apa yang menyebabkan rententan kejadian buruk ini terjadi kepadanya. Dia sulit mempercayai bila wanita itu adalah dalang di balik semua insiden ini. Gong Joo benar-benar tidak terduga. Dan yang paling dibenci Jimin adalah kenyataan bahwa selama ini dia mengenalnya ....

Apapun yang menimpa dirinya, baginya terdengar seolah hal terjauh yang pernah dilaluinya adalah mengetahui hubungan pertemanan di antara Gong Joo dan Mijin―seorang Noona di agensinya yang dia kenal dengan baik. Benak Jimin langsung dibanjiri oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin dia dengar jawabannya. Bila kenyataannya semiris itu, apakah selama ini Gong Joo bersekongkol dengan Mijin untuk mendapatkannya? Apakah selama ini Mijin sengaja menutupi rahasia Gong Joo? Apakah selama ini Jimin telah tertipu dengan kebaikan Mijin?

𝐓𝐇𝐄 𝐒𝐓𝐀𝐋𝐊𝐄𝐑 | 𝐁𝐓𝐒 Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu