Prolog

3K 270 31
                                    

Gwangju, Desember 2006

Malam itu cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan turun lebat disertai desau angin. Jalanan digenangi air, membuat orang-orang lebih memilih bergelung dibawah selimut tebal mereka, memanaskan diri di depan perapians daripada harus keluar rumah.

Ditengah kelenggangan jalan raya tubuh kurus remaja pria itu berlari, tunggang langgang menghindari bahaya yang mengejar. Kaki tanpa alasnya nyaris beku, tapi dia tidak peduli, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan diri.

Dia dapat mendengar langkah kaki beberapa orang dibelakangnya, mengejarnya yang berlari tanpa tahu mau kemana. Berbagai macam umpatan untuknya lolos dari mulut sang pengejar itu. Berterima kasih pada berat tubuhnya yang tak seimbang dengan si pengejar sehingga langkahnya lebih ringan walau tubuhnya sudah terlalu lelah untuk sekedar berjalan.

Entah sudah berapa jam dia berlari hingga langkahnya tiba di sebuah pemukiman kumuh penduduk. Sayup-sayup suara tangis anak kecil menyentaknya, menerbangkan memorinya pada kejadian sepuluh jam lalu dimana tangis pilu adiknya menggema diseluruh rumah begitu pinset kecil mengiris nadinya. Pria muda itu meringis ngeri, namun suara kecipak air yang beradu dengan sol sepatu memaksanya untuk tetap siaga.

Semakin dia berlari ke depan, tangisan itu semakin kencang, merongrong hatinya untuk melihat siapa gerangan dibalik tangis memilukan itu. Mengikuti pendengaran tajamnya, langkah kaki pria itu terhenti di depan rumah kayu kumuh yang tampak tak berpenghuni. Dia mungkin akan mempercayai bahwa rumah itu benar tak berpenghuni kalau saja di depan pintunya tidak ada anak perempuan yang berjongkok sambil menangis memeluk tubuhnya sendiri. Umurnya mungkin sekitar enam hingga tujuh tahun.

Pria muda itu lantas mengambil langkah mendekat. Keretak ranting kayu yang dipijaknya menyebabkan gadis kecil itu mengangkat kepala. Wajah mungilnya pucat pasi dengan jejak air mata diseputar pipi. Mata bulatnya digenangi air mata dengan sorot pilu yang kentara. Dia memeluk tubuhnya sendiri, terlalu erat seolah hanya tubuh ringkihnya itulah satu-satunya hal yang dapat diandalkannya diseluruh semesta.

Saat pria muda itu hendak melangkah mendekatinya, gadis kecil itu justru meringkuk ketakutan, semakin membenamkan diri pada pelukan hangat tubuhnya sendiri.

"Namaku Jongin," ucap Jongin selirih mungkin, berusaha untuk tidak menambah ketakutan pada lawan bicaranya. Dia tidak tahu kenapa tetapi melihat gadis itu meringkuk ketakutan menimbulkan sengatan tak mengenakkan yang menyesakkan dada, "aku tidak akan menyakitimu."

"Jongin, mendekat kau bocah sialan." Gaungan suara itu menyentak pria muda bernama lengkap Kim Jongin itu. Mata sehitam jelaganya nyalang menatap sekitar, mencari tempat potensial untuk bersembunyi. Secercah kelegaan menyambanginya saat maniknya menangkap sudut gelap disamping rumah yang dipenuhi kardus usang.

"Biarkan aku bersembunyi sebelum menolongmu." Cerocos Jongin cepat sebelum melesat menuju tumpukan kardus itu.

Beberapa detik kemudian, dari tempat persembunyiannya, Jongin dapat melihat tiga orang yang mengejarnya berdiri di depan rumah tempatnya bersembunyi, menatap marah dengan napas pendek saling bersahut-sahutan. Dalam hati pria itu berdoa semoga anak perempuan yang ditemuinya itu menangkap maksud ucapannya.

"Hey bocah, apa kau melihat anak laki-laki berlari disekitar sini? Dia memakai kaos putih penuh bercak darah." Tanya seorang laki-laki dengan suara berat selayaknya tubuh gempalnya.

"Halo paman, namaku Jungie. Aku sang penari dikampung ini. Paman ingin melihat tarianku?" Suara gadis itu sumbang namun dia mencoba untuk tampil ceria dengan memunculkan seringai gilanya.

"Sialan! Aku tidak sedang bermain-main anak kecil." ujar pria bercodet disepanjang tulang pipinya geram. Anak kecil bernama Jungie itu berusaha tidak menggigil melihat muka seram pria-pria besar dihadapannya. Tetapi benaknya kemudian mengingatkan bahwa Ibunya saat dalam pengaruh obat lebih mengerikan dari monster jenis apapun.

ACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang