Al Diva Mahendra

2K 93 2
                                    

√Maaf, ada masalah dengan chapter 02
√Disini akan di adakan flashback pengganti chapter 02 sebelumnya..
√Maaf kalau sedikit berubah
√Makasih yang udah setia..

***

[End Of The Death]
–Flashback Coronation–

***

[Author POV's]

Ratusan anak panah itu melesat cepat melewati atmosfer bumi. Setiap lapisan yang dilewatinya membuatnya semakin mengganas. Api berkobar di ujung tajamnya. Menambah rasa sakit yang akan diterima oleh pasangan cumbunya nanti.

Para Era-son yang tersisa pasrah dengan hal itu. Mereka siap mati jika itu memang sudah menjadi takdir mereka. Semakin lama, panah itu semakin mendekat.

SLUP!! SLUP!!!
SLUP!! SLUP!!!

Suara panah yang mencumbu tanah menghiasi malam purnama ketujuh. Suara tersebut menggema ke seluruh penjuru Hutan Erdara. Bahkan, para mutan yang ada di luar desa dapat mendengarnya.

Era-son yang tersisa tercumbu. Badannya dicumbu dengan mesra oleh ratusan anak panah itu. Menyiksa dan membuat kesakitan yang amat sangat.

[Al Diva POV's]

"Argh!!" Aku menggerang kesakitan.

Rasanya seluruh tubuhku tertusuk benda tajam. Kepalaku pusing sekali. Badanku lemas, ragaku lemah. Aku melihat keadaan tubuhku. Terdapat banyak lubang serta tancapan panah di tubuhku.

Aku kesakitan. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Tubuhku tiba-tiba kembali menjadi normal. Luka-luka itu menghilang dengan segera. Ajaib.

Ah, aku mengerti. Ini pasti karena mantra yang diucapkan oleh Ey Maona. Mantra ini adalah mantra kehidupan. Seharusnya aku telah mati, tetapi karena mantra itu aku dapat hidup kembali. Aku... selamat.

Pertandingan masih belum selesai. Seberkas cahaya membawa tubuhku melayang entah kemana. Cahaya itu bergerak sangat cepat. Hingga akhirnya berhenti di atas sebuah rumah kuno.

Aku dijatuhkan. Tubuhku terhempas ke atap rumah tersebut. Karena aku terhempas dengan kuat, tubuhku jatuh semakin dalam. Beberapa kali aku menghantam lantai, sampai berhenti di atas sebuah tanah.

Aku bangkit dan membersihkan kotoran yang menempel di pakaianku. Di saat itu pula, datang sebuah buku kuno. Buku itu terbuka dan menampilkan tulisan latin yang sepertinya menuntut untuk dibaca.

Ego veni. Dreca! Et veni! Et veni! Suspendisse! Mors est accederent. Mox Liberum ferro interficere. Præparentur Et veni! Dreca! Ego veni.

"ROAR!!!"

Tangan kananku menggenggam sebilah pedang. Terukir disana sebuah kata, 'Decra De Eragon' yang mengkilap. Aku tahu pedang ini. Pedang ini adalah pedang yang digunakan untuk membunuh Naga Decra yang kejam.

"ROAR!!!"

Aku mendongak ke sumber suara. Naga itu keluar dan menampakkan wujudnya. Naga setinggi delapan kaki itu memiliki kaki dan tangan yang besar. Kukunya panjang dan tajam. Di punggungnya terdapat sepasang sayap dengan tulang-tulang yang berbentuk seperti duri. Mengerikan.

Aku berlari maju. Pedang ini aku pegang dengan kedua tanganku. Peganganku semakin mengerat. Decra mengangkat salah satu tangannya, berusaha untuk menghantam diriku. Beruntung, aku dapat menghindar.

Aku berguling melewati kuku-kukunya. Berlari dibawah tubuhnya. Kepalanya turun kebawah, dia melihatku. Dalam sekejap, keluar api dari mulutnya.

"Defactra Avodio!" Ucapku.

Sebuah pelindung kasat mata melindungiku. Api itu berbelok melewatiku. Nasib baik, Mom pernah mengajarkanku mantra ini. Jika tidak, aku mungkin sudah hangus terpanggang saat ini.

Aku berhenti tepat di bawah dada milik Decra. Segera aku menusuk jantungnya sepenuh tenaga dengan pedangku.

"Mortem! Decra mors est!"

Tubuhnya hancur seketika. Kekuatanku sudah habis. Tubuhku sangat lemah saat ini, bahkan aku tidak bisa menopang badanku. Aku jatuh tersungkur.

***

"Selamat Era-son!" Suara itu menyadarkanku. Mataku terbuka dan melihat Tetua sedang mengucapkan selamat kedapaku.

"Assassin kita, Al Diva!" Lanjutnya.

Semua warga desa bersorak. Akan tetapi, sebagian dari mereka nampak bersedih. Termasuk kedua orang tuaku. Aku tahu, aku akan kehilangan mereka segera setelah upacara penobatan berlangsung.

"Lakukan!" Titah Tetua.

Seorang Crusander mendekatiku. Dia mengambil sebuah pedang dan menggoreskannya ke pipiku. Aku menggerang ketika benda itu melukai pipiku. Darahku di teteskan ke pakaian pembunuh yang ada di sampingku.

Sesaat setelah darah itu mengenai pakaian itu, tubuhku terasa panas. Aku meringkuk kesetanan di tanah. Lambat laun kesadaranku mulai hilang kembali. Sial! Kenapa mereka senang sekali membuat orang lain menderita?! Argh!

***

A

ku membuka kedua mataku. Kepalaku masih terasa pening setelah upacara penobatan tadi. Pakaianku sudah berubah. Kepastian itu adalah aku menjadi seorang Assassin. Jubah, mungkin namanya. Aku sudah memakai jubah ini. Dengan begitu, aku harus siap untuk membunuh orang-orang yang menjadi targetku dan yang menghalangi pencarianku.

"Selamat, Al Diva. Sekarang kau sudah menjadi Assassin." Ucap seseorang.

Aku mendongak untuk melihatnya. Lelaki itu memiliki paras yang tampan. Hidung mancungnya, lesung pipinya dan kedua mata indahnya itu sangat memukau. Lihat saja warna matanya, biru langit yang indah dan menawan. Aku... kagum olehnya.

"Kau sangat lemah, sebaiknya kau segera bercinta denganku supaya kekuatanku tersalurkan kepadamu." Ucapnya.

Aku memang lemah. Darimana dia mengetahui hal itu. Aku bahkan tidak tahu siapa nama lelaki ini. Namun, dia mengetahui nama dan diriku.

"Aku Adnan. Aku pendampingmu sekarang. Aku memiliki kekuatan mind reader. Jika kau mau, kau bisa memilikinya."

"Tapi dengan satu syarat." Lanjutnya.

Apa yang kau inginkan? Tanyaku dalam hati. Aku terlalu lemah untuk berbicara.

"Bercinta denganku." Jawabnya.

***

√Part selanjutnya akan di pos besok siang
√Langsung update 4 chapter sekaligus

Assassins - Magic In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang