xlii

132 35 14
                                    

sudah sepuluh hari sejak terakhir adam menerima balasan surat danilla. suratnya yang terakhir memang hilang di keesokan hari, namun tidak terganti oleh apa-apa.

sepuluh hari jugalah rasa cemas dan bingung dirasai adam setiap kali matanya melirik ke ujung meja. bagaimana satu bulan dia merasa seperti punya sahabat pena. dia tidak lagi mengelak, dia senang punya penggemar rahasia.

rasa senang itu kemudian membawanya pada rasa penasaran dan juga bersalah. penasaran akan siapa sebenarnya sosok danilla ini dan rasa bersalah, karena mungkin dia tidak bersikap ramah kepada semua orang.

ketika dia memikirkan itu, dia memang menemukan satu jawaban. benar kata danilla, dia memang suka tebar senyum ke orang yang menatapnya di koridor saat dia lewat atau di kantin sekolah saat dia makan. tapi dia tidak menerima dengan mudah orang lain untuk menjadi temannya. dia kenal banyak orang, tapi temannya bisa dia hitung dengan jari. sekadar kenal dan teman tentu berbeda.

dan danilla ini, adam pun bingung harus bagaimana menganggapnya. kenal? dia bahkan tidak pernah tahu siapa danilla. teman? apa kau bisa berteman dengan orang yang belum pernah kamu temui dan hanya berkomunikasi lewat aksara? lain halnya dengan berkenalan dengan orang di sosial media.

"iya bu. terima kasih," kata kala dengan volume keras tepat di telinga adam. menyadarkan cowok itu bahwa jam pelajaran hari ini sudah berakhir, guru sudah berjalan ke luar kelas. dan dia mengisi jam terakhir ini dengan lamunan. tentang danilla dan surat-suratnya yang tidak pernah lagi sampai.

adam hanya berdecak kemudian mulai membereskan buku-bukunya. ketika dia sudah hendak keluar, kala mengurungkan niatnya untuk berdiri.

"masih aja mikirin danilla?" tanya kala to the point.

adam ingin mengelak, tapi dirinya terlalu malas dan lelah untuk berpikir bagaimana caranya. dia hanya diam membalas tatapan kala.

"gue punya ide," kata kala. "kenapa lo nggak nyoba duluan nulis surat buat danilla?"

dahi adam mengerut mendengarnya. dipikirkannya sejenak ide kala, lalu perlahan otaknya membuat dia menjawab, "iya juga ya?"

kala seketika merasa dirinya seperti sudah memecahkan soal yang tingkat kesulitannya tinggi.

"ah tapi mau gue kirim ke mana?" tanya adam.

"ke kantor kepsek," jawab kala asal. seperti pertanyaan adam itu tidak seharusnya dipertanyakan.

raut wajah adam seolah mengatakan bahwa laki-laki itu bisa saja meninggalkannya detik ini.

"ya taro aja di sini. siapa tahu danilla selama ini sengaja nungguin dan bertanya-tanya, lo punya inisiatif atau enggak? bisa jadi dia merasa apa yang dia lakuin selama ini sia-sia." kala menjawab dengan lugas. "anjir ih gue keren bingit."

meskipun penutupnya sama sekali tidak nyaman didengar telinga, dalam hati adam membenarkan ucapan kala. kenapa dia tidak berpikir begitu? danilla memang bisa saja ingin dia sendiri yang terlebih dahulu mencarinya. danilla bisa saja berpikir bahwa setelah puluhan surat yang dia kirim padanya, dia masih saja belum mengalami perubahan. padahal yang terjadi adalah sebaliknya.

tanpa ingin berpikir lebih lama lagi, adam mengeluarkan kembali buku tulis dan bolpoin.

dari adam, untuk danilla....

danillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang