Chapter 6

1.4K 137 29
                                    

Ada yang berbeda ketika tak kudapati hadirnya dalam keramaian. Aku kesepian. Dan aku sadar, rasa sepi ini tidak datang karena kebetulan, tetapi karena dia memang mulai aku rindukan.
(DF.07 Dee Felicia Chesta)

***

Hari ini Dee dibuat cemas karena ketidakhadiran Dean. Huruf 'S' yang tertera dalam absensi menandakan kalau anak itu tidak baik-baik saja. Kecemasan itu selaras dengan kondisi Dean yang belakangan ini cenderung menurun. Lebih sering sakit.

Sepi juga rasanya tidak ada Dean. Biasanya dia akan mengoceh seharian, jahil sana-sini, sampai membuat anak sekelas naik darah karena ulahnya. Sekarang begitu kontras dengan hari-hari biasa.

Sibuk dengan pemikirannya, Dee dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang tahu-tahu telah duduk di sebelahnya.

Pemuda berkacamata itu melempar senyum tipis, berharap masih bisa mendapat keramahan dari Dee. Namun, nihil. Dee memasang wajah tanpa ekspresi, dan langsung menyambutnya dengan pertaanyaan dingin. "Ada apa?"

"Lo masih marah sama gue?"

Dee membuang pandangannya ke arah lain. Melihat wajah sok polos Faiz hanya akan membuatnya semakin sulit menjauh. Pertanyaan retoris. Faiz seharusnya tahu apa jawabannya.

"Gue anggap iya karena lo pun block semua akun sosial media gue, 'kan? Apa segitu sakit hatinya lo sama gue, Dee? Kita harusnya masih bisa berteman," kata Faiz. "Dulu gue sempat bilang sama lo, jangan terlalu cinta sama seseorang karena gak menutup kemungkinan lo bakal berbalik sangat benci sama orang itu."

"Lo tahu gue suka sama lo?"

Faiz mengangguk mantap.

"Sejak kapan?"

"Udah lumayan lama."

Dee mendesis sinis. "Terus kenapa gak dari dulu lo bilang sama gue kalau lo udah punya cewek?"

Faiz meraih jemari tangan Dee, menggenggamnya erat. "Maafin gue. Gue cuma takut nyakitin lo."

"Lo pikir sekarang lo gak nyakitin gue? Sakit, Faiz. Kalau lo bilang dari dulu, mungkin perasaan gue belum sedalam ini. Gue masih mungkin mundur, bahkan berhenti menggantungkan harapan sama lo. Lo terlalu lama bikin gue berharap. Dan di saat gue berpikir hanya tinggal selangkah, lo malah nyuruh gue pergi. Lo cowok macam apa?"

"Bukan salah gue dong kalau ternyata lo terbawa perasaan?"

Mendengar pernyataan Faiz barusan—yang secara tidak langsung sedang menyalahkannya—Dee langsung melepas genggaman lelaki itu, menatapnya, kemudian berkata, "Emang bukan lo yang salah. Tapi, ada yang harus lo pahami dari rumus ini, gak akan ada yang berharap kalau gak ada yang memberi harapan. Gue masih cukup waras buat gak berharap sendirian."

"Gue gak tau kalau apa yang gue lakukan bakal bikin lo berharap sama gue."

"Lo dingin ke cewek lain, sedangkan ke gue enggak. Oke, masalah pelajaran lo emang selalu berusaha ramah sama mereka, tapi sehari-hari lo cuma kayak es lilin berjalan. Itu yang bikin gue mikir kalau gue itu beda dari mereka."

"Sorry."

"Oke."

Maaf? Begitu mudah dia mengatakan maaf. Hanya maaf tidak cukup untuk menyembuhkan luka yang telanjur meluas. Kata 'oke' Dee rasa mampu menegaskan semuanya. Setelah ini mungkin Faiz akan berpikir kalau Dee baik-baik saja. Iya baik, saking baiknya Dee sampai tidak bisa tertawa.

***

Pulang sekolah, Dee naik sebuah angkutan umum menuju rumah Dean. Gadis itu ingin melihat bagaimana keadaan Dean. Karena jujur, Dee merindukannya. Padahal kemarin mereka bertemu, nonton bersama walaupun pada akhirnya Dean terlelap. Berlebihan mungkin, tetapi rasanya di sekolah itu berat jika Dean tidak ada.

Angkutan umum yang ditumpangi berhenti tepat di sebuah rumah mewah yang didominasi warna putih. Dee bergegas turun dan berjalan cepat menuju gerbang utama rumah itu. Netranya bergulir, dan mendapati Mang Acep berdiri di dekat pos satpam, segera saja Dee memanggilnya untuk meminta tolong dibukakan gerbang. "Mang Acep!" teriaknya.

Mang Acep menoleh dan langsung melempar senyum, dengan tergopoh dia menghampiri Dee yang berdiri di depan gerbang. "Eh, ayo masuk. Si Aden juga baru aja pulang dari klinik."

"Dean ke dokter, Mang? Sakitnya parah?"

"Mamang mah kurang tahu atuh, Neng. Tapi, dari semalam katanya memang demam tinggi. Makanya serumah panik. Ayo atuh masuk."

Dee mengangguk, lantas mengikuti lelaki paruh baya itu menjejak kediaman Dean. Dan di sofa ruang tamu sana, Dean yang tengah berbaring di pangkuan sang mama langsung menyambut kedua indra penglihatannya. Berbalut selimut tebal dengan posisi tidur meringkuk.

"Assalamu'alaikum, Tante."

"Wa'alaikumsalam. Dee, Sayang, ya ampun sini duduk."

Gadis itu tersenyum kaku, melangkah pelan, lantas mengambil posisi duduk tepat di samping mama Dean. Sementara Dean sama sekali tak terusik dengan kehadiran Dee.

"Dean sakit apa, Tante?"

"Dari semalam demamnya tinggi, lemas juga. Abangnya sama tante jadi cemas. Ya udah tadi dibawa ke dokter."

Dee mengangguk paham. "Kenapa tidurnya di sini, Tante?"

"Mau naik ke atas kepalanya pusing. Jadi, terpaksa tidur di sini dulu sampai membaik."

"Itu obatnya, Tante?" tanya Dee begitu melihat beberapa jenis obat saling tumpah tindih di sudut meja.

Diandra mengangguk. "Ini, mau lihat?" Perempuan itu balik bertanya seraya menyerahkan obat-obatan tersebut pada Dee.

"Ma, mau bangun."

Keduanya terkesiap mendengar lirih suara Dean. Matanya terpejam, tetapi kedua tangannya menggapai-gapai sesuatu agar bisa membantunya bangkit. Tepat saat posisi lelaki itu menegak, cairan merah kental kembali mengalir dari rongga hidungnya.

"Ya Allah, Dean!" Diandra panik. Ia menahan tubuh putranya yang sedikit kepayahan. "Nunduk, Sayang, nunduk," lanjutnya.

Dee membantu menahan tubuh Dean saat melihat sebelah tangan ibu dari anak itu sibuk memainkah ponsel seperti hendak menghubungi seseorang.

"De, lo kenapa?"

Dean tak menjawab pertanyaan gadis itu, masih berusaha menghalau pening di kepalanya. Ia bahkan enggan membuka mata saking pusingnya.

"Bang, bisa pulang dulu enggak? Ini Adek mimisan. Pusingnya juga sepertinya belum hilang. Mama bingung."

"Ma, tenang," kata Dean sembari mengusap punggung tangan sang mama.

Dengan tangan gemetar, Diandra meraih beberapa helai tisu, lantas membersihkan area hidung Dean. Hatinya tercubit sakit melihat si bungsu sepayah ini. "Cepat sembuh, ya, Sayang. Mama sayang sekali sama kamu," lirihnya.

Bersambung ...

***

Karena masih ada yang nungguin cerita ini, jadi aku update lagi. Selamat membaca :)

Double F || RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang