Chapter 1

1.5K 130 36
                                    

Bahagia itu sederhana. Terkadang kita saja yang membuat rumit jalannya.
Bahagia bukan saja milik mereka yang terduduk menanti, tetapi milik mereka pula yang mau berusaha untuk meraihnya.

(DF.02 Dean Haidar Argani)

***

Pagi ini kelas XII F-1 sudah dibuat gugup karena praktikum ilmu resep. Praktikum yang dilaksanakan dua kali dalam seminggu memang kerap menjadi momok menakutkan bagi mereka, terutama karena sebentar lagi mereka akan menghadapi berbagai ujian yang sejatinya bisa menentukan nasib mereka ke depan. Untuk kelas XII F-1 praktikum hari Rabu biasanya dijadwalkan pada jam ketiga dan keempat, sedangkan hari Sabtu biasanya sepulang sekolah setelah semua pelajaran usai.

Berbalut jas lab panjang berwarna putih, masker, dan handscoen semua terlihat sudah siap menerima soal. Biasanya mereka mendapat resep acak meliputi, pulveres, kapsul, unguentum, emulsi, pulvis adspersorius, elixir, suspensi, sirup, gargle, cream, liniment dan lain-lain. Setiap anak harus bisa menyelesaikan empat jurnal dan empat sediaan dalam tiga jam.

Di atas deretan meja yang didominasi warna coklat tua terdapat dua buah timbangan, yakni timbangan gram halus dan timbangan miligram‒‒lengkap dengan anak timbangannya. Ada pula alat-alat praktikum lain yang tak kalah penting. Berbagai macam reaksi ditunjukkan setelah mereka mendapat resep. Lihatlah bagaimana wajah Dean yang tertekuk, bisa dipastikan kalau resep yang didapatkannya tidak sesuai ekspektasi.

"Berurusan lagi gue sama oleum iecoris."

Dee yang berdiri berdampingan dengan Dean menahan geli. Oleum iecoris atau minyak ikan memang musuh abadi Dean. "Emulsi?" tanyanya kemudian.

Dean mengangguk sebagai jawaban. Mencium baunya saja sudah membuat Dean ingin muntah, apalagi terkadang alat-alat yang digunakan untuk membuat emulsi minyak ikan jadi lengket dan baunya pun awet. Habislah Dean dalam praktikum kali ini.

Faiz? Jangan tanya seperti apa laki-laki itu ketika berhadapan dengan resep. Dia sangat tenang, berpikir dalam diam tanpa banyak bicara. Jika menemukan kesulitan pun Faiz jarang bertanya pada orang lain, hanya wajahnya saja berubah lebih serius. Entah kebetulan atau memang ada unsur kesengajaan, Faiz selalu mendapat resep yang cukup sulit. Namun, lelaki itu selalu bisa memecahkannya. Ya, itulah Faiz‒‒master nyaris semua mata pelajaran, kecuali Bahasa Indonesia.

Karena setiap anak mendapat resep berbeda, maka kegiatan saling mencontek hampir tidak mungkin dilakukan. Meskipun ada sebagian anak yang memilih bertanya dengan elegan pada orang sejenis Faiz. Mengapa demikian? Jika bertanya dengan gaduh dalam laboratorium, apalagi dengan pengawas seperti Bu Lidya, angka bulat lonjong bisa dipastikan menghiasi kolom nilai. Memang sedikit mengerikan, tapi itulah caranya menerapkan kedisiplinan.

Suasana hening. Mereka sibuk dengan jurnal maing-masing. Format jurnal itu sendiri terdiri dari kelengkapan resep, usul, sinonim, indikasi, pemerian, kelarutan, perhitungan dosis, perhitungan bahan, penimbangan bahan, cara kerja, etiket dan label.

"De, ikut nimbang, ya? Timbangan gue gak setara-setara."

Dean berdecak kesal. Leon selalu saja begitu. Ketika pengawas keluar, lelaki itu akan berpindah ke tempat lain, entah untuk mencontek, bertanya, atau ikut menimbang. Kadang Dean kesal jika bahan obat yang dibawa Leon tumpah dan terlihat berantakan di mejanya. Leon tidak pernah mau bertanggung jawab untuk membersihkannya kembali. "Jangan berantakin meja gue!"

"Iya tenang."

"GG mana? Jangan dikantongin woy!" Aji berseru.

"Tidak boleh ribut!" Bu Lidya masuk kemudian memberi peringatan pada mereka yang membuat gaduh di laboratoriumnya. "Leon, sedang apa kamu di situ? Kembali ke tempat kamu."

Double F || RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang