"Sakit apa?" tanya ibunya.
"Dia koma bibi. Jika masih kuingat... mungkin sudah 7 tahun lamanya. Ini karena kecelakaan pesawat," ucap Forth sedih. Beam mendekati Forth. Ibu Beam membulatkan matanya.
Tujuh tahun?! Kecelakaan pesawat! Itu adalah waktu dan kejadian yang serupa dengan yang terjadi pada Ayah Beam.
"Dokter sudah memberitahuku, bahwa ayah hanya akan tetap hidup dengan alat bantu. Jadi aku harus melepaskannya. Tapi aku tidak percaya. Akhirnya, aku membawa pulang ayahku. Aku membeli segala jenis alat medis yang bisa membantu ayah untuk tetap bernapas sampai dia bisa sadar. Aku mempekerjakan seorang perawat yang khusus untuk ayah. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku tidak punya adik ataupun kakak," kata Forth lagi.
"Forth..." bisik Beam lirih.
"Saat itu aku baru masuk kuliah. Pamanku yang menjagaku, selama ayah koma. Dan saat ini, aku bekerja di perusahaannya setelah lulus kuliahku. Sebenarnya, dulu, itu adalah perusahaan ayahku, api kita bangkrut. Uangnya habis karena dipakai biaya perawatan ayah, gaji perawat dan biaya kuliahku. Semuanya memakai uang perusahaan. Akhirnya, pamanlah yang meneruskan..." Forth menghela nalas sebelum melanjutkan. "aku bekerja di sana, dan digaji. Sebagai balas budiku pada paman. Dia sangat baik. Aku harus mendapatkan gaji itu untuk biaya perawatan ayah sampai ayah bisa benar-benar sadar," ungkap Forth sedikit parau. Beam memegang tangan Forth sambil tersenyum. Ibu Beam berdiri. Dia mengambil sebuah foto lama yang sudah dicetak, kemudian menunjukkannya kepada Forth. Dia memperhatikan foto itu.
"Ayah. Kenapa bibi punya foto Ayah?" tanya Forth. Beam memandang ibunya yang tersenyum.
"Tuan Jaturapom?" kata ibunya.
"Iya, dia ayahku bibi."
"Lihatlah pria di sebelahnya! Dia adalah Baramee. Ayah Beam," kata ibunya. Beam dan Forth saling menatap.
"Tuan Baramee. Dia adalah sahabat ayahku. Paman yang memberitahuku. Dan tuan Baramee adalah orang yang menjadi korban juga dalam kecelakaan pesawat itu," kata Forth
"Benar. Tapi kami tidak menemukan jasadnya," kata ibu Beam. Matanya mulai berkaca-kaca. Forth dan Beam memegang tangan ibunya. Kemudian Forth menjelaskan.
Saat Forth dan pamannya mendengar kecelakaan itu, mereka langsung bergegas datang ke lokasi kejadian. Mereka menemukan ayahnya dan juga ayah Beam sekaligus. Mereka langsung membawanya ke rumah sakit. Saat itu ayah Beam sudah tidak bernapas, badannya sudah membiru. Sedangkan ayah Forth, dokter mengatakan bahwa dia masih dalam keadaan kritis. Detak jantungnya masih ada. Tiga hari setelahnya, saat keadaan ayah Forth koma, Forth dan pamannya mengkremasikan jenazah ayah Beam dengan hormat. Forth tidak memberi tahu pihak keluarga Beam, karena mereka kehilangan komunikasi, dan mendengar kabar bahwa keluarga Beam sudah pindah ke Bangkok.
Mereka tidak sadar bahwa Wayo sudah bergabung.
Dia berkata, "jadi, inilah alasannya, kenapa kita tidak bisa menemukan jasad ayah, ibu."
"Iya. Mungkin hari itu, aku dan paman datang lebih dulu dari kalian," kata Forth. Ibu beam hanya mengangguk.
"Alasan aku juga pindah ke Bangkok, selain bekerja di perusahaan paman, aku berusaha mencari informasi tentang kalian. Tapi aku tidak berhasil. Aku tidak tahu bahwa Beam adalah anak tuan Baramee. Dan tujuanku kesini, juga untuk menemui ayahku."
"Di mana rumahmu Forth?" tanya ibu Beam.
Forth menyebutkan sebuah daerah yang jika ditempuh dengan mobil, dari rumah Beam, membutuhkan waktu tiga jam.
"Aku masih menyimpan abu tuan Baramee. Paman bilang, saat ayahku sadar, aku harus menyerahkan abu itu pada ayah."
"Apa kita semua bisa ke sana?" tanya Beam.
"Tentu, kita bisa berangkat sekarang," kata Forth. Setelahnya, Beam dan Wayo bergegas ke kamar untuk berganti pakaian.
Tiga jam kemudian. Mereka sampai di depan sebuah rumah mewah dengan gerbang besi yang tingginya tidak wajar bagi keluarga Beam. Sejatinya, ayah mereka adalah sahabat. Namun, kekayaan ayah Forth jauh lebih banyak pada masa itu. Mereka masuk, Forth mengantarkan mereka langsung ke kamar Ayahnya, karena permintaan ibu Beam.
Mendadak ibu Beam ingin menangis melihat keadaan ayah Forth. Semua alat medis terpasang di tubuhnya. Forth membuka lemari, dan membawa guci kecil di dalamnya, lalu menyerahkannya kepada ibu Beam. Ibunya menerima, menatap Forth, kemudian membuka tutup guci itu. Di dalamnya ada segunduk abu. Ibunya terisak.
"Itu abu suamimu. Sekarang kalian sudah ada di sini," kata Forth. Wayo memeluk ibunya sambil ikut menangis. Beam masih menahan tangisnya. Dia menatap ke arah dinding kamar. Disana, ada pakaian lengkap pakaian kantor yang tergantung. Beam terus menatapnya. Forth menyadari itu. Dia berjalan mengambil pakaian itu.
"Ini pakaian ayahmu saat kecelakaan. Lihatlah, banyak robekannya, kan? Aku menyimpannya untuk kutunjukkan kepada ayahku," kata Forth. Beam merebutnya, lalu memeluk pakaian ayahnya, sampai akhirnya tangisnya pecah.
Setelah itu, mereka pergi ke sungai di dekat rumahnya dengan berjalan kaki. Ibu Beam masih terisak sambil memegang guci berisi abu suaminya dengan tangan yang gemetar. Ibu Beam membuang abu mendiang suaminya ke sungai. Dengan cepat, abu itu hilang terbawa arus sungai. Membawa semua kenangannya. Meninggalkan kesedihan yang mendalam pada hati orang-orang yang mencintainya.
"Selamat tinggal ayah," kata Beam.
"Aku merindukanmu ayah," kata Wayo.
"Kau sudah tenang sekarang. Aku mencintaimu," kata ibu Beam. Mereka pun pergi dari tempat itu. Forth menyusul paling belakang dan mengatakan sesuatu sebelum pergi.
"Aku akan menjaga anak-anakmu dan juga istrimu, Tuan Baramee."
Setelah tiba di rumah, mereka sudah tidak menangis lagi. Mereka sudah sepenuhnya mengikhlaskan kepergian Ayahnya. Mereka takjub pada dunia yang sempit, namun mengguratkan sebuah takdir di dalamnya. Takdir, bahwa hari ini, keluarga Beam menemukan titik terang tentang jenazah ayahnya. Takdir karena Forth bertemu dengan Beam, anak dari tuan Baramee, sahabat ayahnya. Takdir bahwa Forth sudah bertemu dengan keluarga Baramee yang sudah bertahun-tahun dia cari. Dan anaknya, menjadi kekasihnya sekarang.
Setelah itu ibu meminta pulang. Forth mengantarkannya. Wayo juga ikut pulang untuk menemani ibunya di rumah. Tapi Beam tidak. Dia bilang ingin menginap disini, dan akan pulang besoknya. Forth mengantarkan ibu Beam dan Wayo pulang. Beam menunggunya, di kamar ayah Forth.
Hari sudah malam. Forth mengantarkan Wayo dan ibunya hanya setengah perjalanan. Ibunya yang meminta. Forth menurunkannya di halte terakhir menuju rumah Beam. Hanya sampai disana. Selanjutnya, ibunya bilang akan naik bus.
Saat Forth pulang, di kamar ayahnya, masih ada Beam. Forth membuka pintu perlahan, karena tifak ingin mengganggu Beam yang sedang membacakan sesuatu pada ayahnya yang sedang koma.
Forth menghampirinya. "Kau tidak lelah, Beam? Membacakan buku kepada orang yang belum tentu dapat mendengarmu," kata Forth
"Kau lupa, ya? Aku ini seorang dokter?" kata Beam.
"Lalu?"
"Forth. Aku tahu penyebab koma. Sebagian pasien koma, mereka bisa mendengar suara sekitar meskipun otak mereka sulit memahami apa yang mereka dengar. Aku harap ayahmu termasuk dalam kategori itu," ungkap Beam menjelaskan. Forth duduk di samping Beam dan menoleh kepada Ayahnya.
"Aku bisa membantu ayahmu sadar. Tapi masalahnya, aku tidak bisa lama berada divsini."
"Jadi?" tanya Forth.
"Kita harus membawa Ayahmu ke rumah sakitku. Aku akan merawatnya. Aku bisa membantu dia sadar, Forth."
"Apa kau serius Beam?" tanya Forth. Ragu. Beam mengangguk sambil tersenyum.
"Kalau begitu, sekarang kau tidur. Besok kita akan urus semuanya," kata Forth. Beam mengangguk lagi. Mereka bangkit, meninggalkan ayah Beam. Tapi sebelum keluar, Beam mengucapkan selamat malam kepada Ayah Forth.
❤❤❤❤✌
Yii sip Soong
Começar do início
