Fake Three

4.3K 351 4
                                    

8 bulan sebelum Fake Marriage

-Cris-

Saat main di Violet Bar and Cafè, gue nggak menemukan keberadaan perempuan yang pernah gue lihat mabuk di parkiran beberapa minggu yang lalu. Gue lalu memutuskan menuju hotel yang empat bulan lalu membuat gue kaya dalam sekejap juga membuat gue sadar untuk tak segera mengakhiri hidup gue yang nggak memiliki arti ini. Gue lupa nama hotel itu. Goddamnit lah dengan nama hotelnya, yang penting seberapa besar uang yang bisa gue hasilkan malam ini. Itu point pentingnya

Namun dewi fortuna lagi ngambek sama gue, duit sepuluh juta gue raib dalam waktu sekejap. Sial.

"Lo sih sok main bersih."

Gue menanggapi ucapan Aaron dengan gelak tawa. "Sekali-kali lah berperan jadi protagonis," jawab gue.

"Yakin nih nggak mau main lagi?" tanya Aaron memastikan keputusan gue.

Gue menggeleng malas. "Kita pulang aja."

Sepanjang perjalanan pulang, gue lebih banyak diam. Aaron mengerti kesuntukan gue, dia memilih mengemudikan mobil dengan baik, membiarkan gue larut dalam keheningan.

Kangen kamu, Bee.

Mantra itu yang terucap kala gue mulai memejamkan mata sesaat yang lalu.

Samar gue mendengar suara lembut itu berteriak memanggil nama gue.

"Cris, jangan tinggalin aku. Kumohon, Cris!"

"Kita nggak bisa bersama, Bee. Mending sekarang kamu pulang. Turuti perintah orang tuamu yang akan mengirimmu ke Jepang untuk kuliah. Kamu tidak akan sejahtera bila bersamaku, Bee."

"Jangan pergi, Cris!"

Brakkk....

Suara dentuman kendaraan dan pecahan kaca mobil berhamburan di tengah jalan raya.

"Bee...bangun, Bee...Biancaaa!"

Sebuah guncangan menyadarkan dan membangunkan gue dari mimpi buruk itu lagi.

"Lo mimpi Bianca lagi?"

Gue mengangguk sambil mengusap kening gue yang penuh peluh. Napas gue masih tersengal hebat saat ini.

"Iya....gue masih suka mimpiin Bianca. Tapi intensitasnya sekarang lebih sering, Ron. Semoga bukan pertanda buruk."

Saat mobil berhenti di basemen apartemen, gue meminta Aaron menghubungi Briana untuk menanyakan keadaan gadis itu. Setelah panggilan telepon ditutup, Aaron mengatakan kalau Briana baik-baik saja. Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul empat pagi. Briana biasanya memang sudah bangun pukul segitu.

Dari lorong lantai 34, gue melihat dengan samar seorang perempuan sedang berdiri menyandarkan punggung di dinding samping pintu unit apartemen gue. Mata gue memang rabun jauh. Gue kesulitan melihat dari jarak lebih dari sepuluh meter. Tidak ada satupun yang tahu tentang hal ini, bahkan Aaron sekalipun. Namun dari gesturnya gue bisa melihat siapa wanita yang mengenakan pakaian ketat itu.

"Juanita," bisik Aaron memberi tahu gue.

Seperti mengerti kode alam, Aaron pamit dari hadapan gue.

"Lo tidur di mana, Ron?"

"Gampanglah."

"Kenapa pergi, santai aja lagi."

"Santai pale lo pitak. Desahan lo dan Juanita kalah saing sama desahan film bokep di ponsel gue."

Gue terbahak mendengar alasan Aaron. Bocah tengil memang. Gue tahu, diam-diam dia suka mengintip gue kencan dari zaman dahulu kala.

Berjalan santai dengan satu tangan kanan masuk kantong celana jeans, gue mendekati Juanita yang terlihat semringah melihat kehadiran gue. Dengan rakus dia meraup bibir gue dan lidahnya memaksa masuk ke rongga mulut gue.

Fake MarriageWhere stories live. Discover now