Fake One

6.6K 456 3
                                    

Satu tahun sebelum fake marriage.

-Nina-

Aku menatap pesan singkat yang dikirim oleh Papi kemarin. Martin Natanegara itu memintaku segera pulang ke Indonesia secepatnya, padahal dia juga yang mengusirku dari Indonesia dua tahun yang lalu. Masalahnya sepele, karena aku hampir menggagalkan pernikahan pegawai kesayangannya, mantan pacarku, mantan calon suamiku, dan cinta pertamaku.

Isi pesan singkat Papi singkat, padat dan jelas.

Papi: meme pulang ato haram lihat proses kremasi papi

Fine, papi. I'll go....arrghh...

***

Here i am, di istana megah milik Martin Natanegara. Rumah tempat aku dibesarkan. Rumah yang kata orang bagai surga, tapi neraka bagiku. Terlalu banyak kenangan manis juga kenangan buruk terukir di rumah ini.

"Selamat datang, Meme*. Bagaimana kabar kamu, hunny?"

Kenapa wanita itu yang menyambut kedatanganku. Melihatnya saja membuatku alergi. Sekarang aku harus kembali bersinggungan dengannya. Menatap matanya barang sekejap sama saja dengan bunuh diri dan mati konyol. Aku menyebutnya medusa, karena di balik mata sipitnya itu membawa kematian jika berani menatapnya lama-lama. Katakan aku berlebihan, tapi seperti itu yang kurasakan selama 20 tahun hidup di bawah asuhannya. Dia ambisius, licik, dan penuh kepalsuan. Wait! Apa kataku tadi mengenai penilaianku tentang perempuan itu? Kini aku menertawakan diri sendiri saat ini. Sok lupa, padahal aku sudah hampir mewarisi sebagian besar sifat medusa itu.

"Baik. Papi mana?" Sahutku ketus. Tak perduli dengan mimik muka sedih palsunya itu. Dia pakai topeng, andaikan semua orang tahu tentang itu.

"Ada di kamar. Ayo, Tante antar ya," ucapnya sok lembut.

"Nggak usah. Aku tau kok seluk beluk rumah sendiri."

Aku melenggang meninggalkannya. Hentakan stilletto ku terdengar menggema di rumah besar ini. Aku yakin wanita itu tengah mendengkus menahan kesal karena selalu aku acuhkan.

Perlahan aku menekan gagang pintu kamar Papi. Kesan pertama yang kudapat hanya dingin dan sepi. Kamar super mewahnya terlihat rapi tak berpenghuni. Menelusuri kamar aku melihatnya sedang berada di balkon, duduk di kursi roda menikmati semilir angin yang berembus dari halaman belakang rumah besar ini.

"Sore, Pi," sapaku pelan agar tak mengejutkannya.

"Kenapa kamu terlambat? Papi bilang Senin pagi kamu harus sudah ada di Indonesia. Sekarang hari apa? Ini sudah hari Jumat sore, Meme!?"

Suara Papi menggelegar. Padahal aku yang khawatir membuatnya terkejut, nyatanya orang tua itu yang mengejutkanku. Wajah dinginnya menatapku, sorot tajam dari mata tuanya menatap seolah bersiap menghunusku. Aku benci ditatap seperti ini. Tatapannya persis seperti milik medusa itu. So pasti mirip, karena mereka berdua saudara kandung, sedarah, berasal dari rahim yang sama.

"Meme masih mengurus butik dan acara pagelaran busana. Brand Meme ikut ajang Milan Fashion Week akhir tahun ini."

Rahang Papi mengetat mendengar jawabanku. Entah dia mendapat tenaga super darimana tiba-tiba beranjak dari kursinya. Setahuku, sehari sebelum Papi mengirim pesan bernada mengancam, medusa itu mengirimku kabar bahwa Papi terjatuh dari tangga, kakinya terkilir dan tekanan darahnya naik. Membuatnya harus menginap semalam di rumah sakit. Kini tangan Papi sudah mencengkeram erat lenganku. Aku tak mengaduh kesakitan. Sudan biasa menerima perlakuan seperti ini darinya.

"Lebih penting brand kamu daripada nyawa Papi kamu sendiri? Sudah merasa hebat kamu?" tudingnya dengan telunjuk kokohnya.

Aku melengos, melimbai dari hadapannya, duduk di kursi taman masih di balkon kamar Papi.

Fake MarriageWhere stories live. Discover now