Bahwa kakaknya ternyata bukan hanya sakit kanker usus, tapi juga kanker rahim dan rahimnya harus diangkat.

"She is a good person," kata Diva ketika kami sudah keluar dari sana. "Dia sangat sayang pada Ibu, apalagi padaku... Tapi kenapa Tuhan memberikan cobaan seperti ini padanya? Pada kami?"

Pertanyaan Diva terdengar seperti kalimat protes. Aku melirik Nora yang wajahnya tak kalah sedihnya. Dia memeluk Diva dengan erat.

"Jangan pernah menyalahkan Allah, Diva," pesan Nora, masih memeluk Diva. "Minta pada Allah, agar kau dan keluargamu dikuatkan. Ingat kisah para Nabi. Dan hanya orang-orang terpilih yang Allah tempatkan di tempat-tempat penting..."

Diva menangis. Nora juga.

Well, aku juga.

Jikalau sudah berhadapan dengan takdirNya yang mungkin tak sejalan dengan apa yang kita inginkan, manusiawi jika kita ingin marah. Tapi kemudian kembali lagi, kita marah pada siapa? Sedangkan takdir ini ditetapkan olehNya.

Intinya, seperti yang Nora selalu bilang padaku, itulah makna dari hadits Nabi; Laa taghdhab wa lakal Jannah. Jangan marah maka bagimu surga.

Mungkin situasi seperti ini masuk dalam kondisi yang seharusnya tidak boleh marah.

Tapi, itulah manusia...

"Kakakku memang gemuk. Dia sering disebut gemuk di tempatnya bekerja atau di kalangan teman-temannya. Dan lagi usianya sudah lewat dari usia normalnya orang-orang menikah. Dia sering diledek dan membawa cerita itu ke rumah."

Diva duduk sembari menyeka air matanya. Ibunya sedang tidak ada di tempat tadi kami bertemu. Mungkin ke toilet.

"Memang kenapa kalau dia gemuk? Toh dia yang membuatku bahagia. Dia memperhatikanku dengan baik. Aku bangga mempunyai kakak sepertinya. Lalu tiba-tiba aku mendapatinya dengan penyakit-penyakit seganas itu. Dia bukan orang yang sembarang makan ini itu, aku tahu betul tentang itu. Dia menjaga makanannya makanya aku tidak mengerti kenapa dia bisa sakit separah ini..."

Isakan Diva terdengar. Nora memeluknya lagi.

"Allah Maha Baik, Diva. Dia akan memberi yang terbaik pada setiap hamba yang baik sangka padaNya," kata Nora. "Aku tahu ini tidak mudah jika sedang berada dalam kondisi yang diuji. Tapi percayalah, semua ini akan berlalu."

Isakan Diva terdengar melemah. Kemudian dia mengangguk, "Terima kasih, Nora, atas pengingatnya. Kau sungguh baik," Diva melirikku, "kau juga. Queen. Terima kasih kedatangannya."

Aku hanya mengangguk dan mnegulas senyum. Tidak seberapa lama, kami pamit pulang. NOra berpesan agar Diva tetap menjaga sangka baiknya pada Allah Azza wa Jalla.

Keluar dari lift, kulihat wajah Nora masih saja mendung.

"It is a sad news, to hear," kataku.

Nora menggeleng. Dia menghampiri satu bangku dan duduk di sana. Mengambil air minum dalam tas dan mengembuskan napas perlahan. Aku ikut duduk di sampingnya.

"It is pathetic, Queen," sanggah Nora. Sukses membuatku mengernyitkan kening.

"Meaning?"

"Kau tahu, kasus dari kematian Jonghyun, lalu sakitnya Kak Debi..." kata Nora. "Mereka depresi."

Keningku makin mengerunyut. Kalau kasusnya Jonghyun sih jelas dia depresi. Tapi Kak Debi?

"Dari mana kau bisa menduga demikian?"

Nora angkat bahu, "Dari hasil meneliti sekitar. Kau pernah dengar, ada orang yang perlahan-lahan mati, sebab putus cinta? Depresi menggerogoti dirinya dengan begitu sadis, Queen, karena ditinggal oleh orang yang dia sayang," kata Nora kemudian. "Sepupu nenekku dari pihak ibu, setahun yang lalu wafat karena kanker rahim di pengujung usianya. Padahal usianya sudah nyaris 70 tahun. Kutebak dia depresi."

[✓] Best FriendsWhere stories live. Discover now