Chapter 12

9.4K 347 13
                                    

"Fernando ada didalam, dia sedang sakit." katanya singkat. Suaranya begitu maskulin dan berat khas bapak-bapak.

"Saya tau om, kemarin saya yang mengantar Nando pulang kerumah. Makanya saya mau jenguk dia lagi" kataku.

Dia menaikkan alis, kemudian ia tersenyum padaku.

"Siapa namamu nak?" tanyanya .

"Saya Samuel om." balasku.

Dia menepuk bahuku pelan dan masih tetap tersenyum. Kemudian ia berkata
" Terimakasih ya Samuel sudah menolong anak saya. Saya tidak tau apa jadinya jika tidak ada kamu. Sekali lagi terimakasih."

Melihat ayah Nando tersenyum, kesan angker dan galak sirna seketika. Dia mempunyai karisma tersendiri. Untuk orang dewasa seumurannya, beliau begitu mempesona.

"Iya om. Ga masalah kok." aku mengangguk kikuk.

"Masuklah, dia sudah menunggumu. Saya harus pergi. Tolong temani dia ya Samuel." katanya pamit padaku.

Aku mengangguk lagi dan mempersilahkanya berlalu. Dia berjalan begitu tegap dan sedikit terburu-buru. Mungkin akan menghadiri meeting, aku tak tahu. Tapi yang pasti ayahnya mempunyai peranan penting. Ternyata ayah Nando tak segalak yang kubayangkan, cenderung ramah malah.

Aku masuk kedalam rumah. Lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Saat aku sudah mendekati pintu, ku dengar suara tv yang sedang dinyalakan. Pintunya tak tertutup sempurna, jadi kubuka perlahan. Ku keluarkan kepalaku dan melihat keadaannya.

Posisinya masih sama seperti kemarin. Dia duduk dan bersandar ke tembok dengan bantal sebagai tumpuannya. Baju yang dia kenakan juga sudah ganti, dia memakai kaos biru polos dan celana pendek diatas lutut.
Kasian dia.
Ekspresinya begitu bosan dan kesepian. Dia belum menyadari keberadaanku yang melihatnya. Dari tadi dia hanya mengganti saluran tv dengan malas, mungkin tak ada acara tv yang menarik baginya.

Dia menguap sangat lebar. Aku tersenyum mengamati tingkahnya. Kemudian dia melihat kearahku. Dia sedikit terkejut melihatku. Sekarang ekspresinya berubah. Sorotan matanya berbinar.

"Bikin kaget gue aja lu!"

Aku masuk ke kamarnya sambil cengengesan.

"Eh, ada Sarah juga! Kalian kok bisa barengan sih?" tanyanya antusias.

Aku sendiri hampir lupa dengan keberadaan Sarah.

"Itu tadi didepan bokap lu ya?" tanyaku. Nando mengangguk.

"Pantes aja anaknya ganteng, orang papahnya aja keren banget!" kata Sarah yang masih terkagum-kagum sejak dari tadi. Nando hanya terkekeh saat Sarah memujinya.
"Eh, gimana kak badannya udah mendingan?"

"Masih cenat cenut disana sini, ni lututnya juga masih perih." sahut Nando.

"Nih gue bawain makanan. Lu belum makan kan?"
Dia menggeleng.

Aku meninggalkan mereka berdua dan menuju dapur untuk mengambil piring, sendok dan segelas air putih kemudian kembali lagi.
Sarah duduk di seberang kasur. Dia tak berani mendekat karena takut menyenggol lukanya.
Ku buka bungkusannya dan kutaruh ke piring. Aku berasa seperti suster sekarang yang mengurusi pasien manja. Ku ambil piring itu dan duduk menyebelahi Nando.

"Eh eh! Mau ngapain lho! mau nyuapin gue? gausa! biar Sarah aja yang nyuapin mumpung dia ada disini. Elu mending ngobatin dengkul gue aja." perintahnya panjang lebar
"Sarah mau kan nyuapin kak Nando?" pintanya ganjen.
Dia tersenyum dan mengangguk. Dasar Sarah , mau maunya disuruh Nando. Tiba-tiba aku merasa kesal. Biar aja gausa diobati, biar infeksi dan diamputasi sekalian. Batinku jengkel.

Boy crushWhere stories live. Discover now