60. Kesempatan Terakhir

Start from the beginning
                                    

"Kau bingung kenapa aku memintamu mengantarku kesini?" Kushina berhasil membuyarkan lamunan Hinata, hingga gadis itu kembali teringat akan maksud dan tujuannya ke tempat ini. Kushina yang mengajaknya, 'tapi untuk apa?' Batin Hinata bertanya.

Hinata kembali menoleh dan menatap tanzanite kelabu milik Nyonya Namikaze itu.

"Masuklah, satu unit di lantai dua puluh tujuh adalah milikmu." Dan jawaban Kushina itu berhasil menyentak hatinya.

'Milikku? Sejak kapan aku membeli satu unit apato mewah disini? Tou-sama tak akan pernah membelikanku apato disini sekalipun aku bersujud dan menangis di kakinya.'

Bukan tanpa alasan Hinata berpikir demikian. Sang Ayah memang tak pernah mengizinkannya memiliki sebuah hunian sendiri sebelum dirinya menikah, dan hal yang lain adalah, Hinata cukup tahu diri untuk meminta dibelikan Apato seharga saham yang ia miliki di Hyuuga Corp. Ingat Hinata bukan anak tunggal, sekalipun ia puteri kesayangan tetap saja ia punya seorang kakak lelaki yang tentu memiliki hak lebih besar, dan jangan lupakan adik perempuannya yang juga berhak atas harta Hyuuga Corp.

...

Hinata memandang takjub saat Kushina membuka pintu klasik Apato dengan nomor 2712 itu. Sebuah ruang tamu cantik bernuansa putih meneduhkan terpampang di hadapannya.

"Ini milikmu..." Kushina kembali mengulang kalimat yang membuat Hinata bertanya-tanya. "Kau lihat nomor Apato ini, tanggal lahirmu."

Hinata tertegun di tempat, ia kembali menoleh pada pintu kayu yang ada di belakangnya dan memandang teliti ukirian berwarna emas disana. Kushina benar, angka itu adalah tanggal kelahirannya.

"Kau lihat-lihat saja dulu Apato ini..." Kushina memilih duduk di salah satu sofa putih yang ada di ruang tamu Apato mewah itu.

Sementara Hinata dengan tatapan penuh kebingungan dan takjub, perlahan mulai menyusuri Apato dengan dua lantai dan luas empat ratus meter persegi itu. Tak banyak perabotan yang terdapat disana, selain satu set sofa dan meja di bagian depan, hanya ada kitchen set minimalis yang juga bernuansa putih.

Dan yang paling membuat Hinata takjub adalah sebuah pintu kaca di ujung bangunan, dimana pemandangan tama hijau mini dengan pot-pot yang berisi bunga matahari dan lavender berjejer disana dengan latar langit biru. Hinata benar-benar jatuh cinta dengan hunian ini.

"Ada tiga kamar tidur di lantai dua." Kushina kembali membuka pembicaraan. Pandangan ibu paruh baya itu tertuju ke pojok bangunan di mana di tempat itu terdapat tangga yang melingkar. "Satu kamar sangat luas, dia bilang kamar itu akan di sekat menjadi dua jika anak-anak sudah besar."

Hinata mengernyitkan dahinya, tak mengerti dengan arah pembicaraan Kushina. "Maksud Anda?" Hinata kembali memastikan.

"Apa kau menyukai Apato ini? Menang masih belum terisi perabotan. Dia ingin mengisinya bersamamu nanti. Tentu semua biaya untuk membeli perabotan itu sudah ia siapkan." Dan jawaban Kushina semakin membingungkan Hinata.

"Naruto membelikannya atas namamu. Apato mewah ini milikmu."

Hinata tersentak, tanpa sadar air mata membasahi pelupuk matanya. Ia tahu betul harga Apato mewah ini. Harga permeter persegi paling murahnya saja adalah 1.700.000 ¥ (Rp 200.000.000).

"Kau heran darimana dia mendapatkan uang sebanyak itu?" Kushina bertanya seolah ia dapat membaca isi pikiran Hinata.

"Puteraku bukan seorang pegawai pemerintah biasa. Dia adalah Polisi kebanggan Jepang. Setiap prestasi ia buat dalam menengakkan hukum, bukan hanya dibayar dengan lencana penghargaan. Beberapa kali dia menutupi modal kedai ramen kami saat berada di ambang kebangkrutan. Tapi budi baiknya pada orang tua tak pernah diabaikan oleh Kami-sama... selalu dan selalu setiap penghargaan yang ia peroleh di bayar dengan berlimpah oleh pemerintah..." Kushina terengah sejenak menjelaskan perjuangan Naruto dalam menopang kehidupan keluarga mereka.

Sementara Hinata, gadis itu seketika menutup mulutnya menahan isak tangis yang keluar.

"Bukan hanya kami, kakek dan neneknya dari Hokaido itu juga sangat bergantung pada jerih payah Naruto. Dia adalah matahari kami...., mengangkat derajat keluarga kami yang sederhana dan menopang beban berat perekonomian kami.... Beberapa tahun lalu saat masih menjalin hubungan dengan Shizuka, Naruto mulai mengumpulkan jerih payahnya untuk menikahi Shizuka dan membeli sebuah hunian layak. Namun ketika wanita itu meninggalkannya ia gunakan sebagian tabungannya itu untuk merenovasi rumah kakek dan neneknya di Hokaido. Dan saat kami mengenalkannya padamu.... tanpa berpikir panjang dia membelikan Apato ini atas namamu.... Dia menguras habis semua tabungannya agar kau tak sengsara hidup bersamanya."

Air mata membuat mutiara lavender itu memburam, kepala Hinata pening bukan main saat kalimat panjang lebar itu masuk ke telinganya.

"Naruto memang tak sekaya Toneri, Hinata. Tapi dia tak ingin melihatmu menderita, membeli mobil mewah, apartement mewah, dengan deposito yang ia kumpulkan. Naruto tahu kau hidup bergelimang kemewahan dan dia tak ingin kau sengsara jika harus mengikuti gaya hidup kami." Kini bergantian Kushina yang terisak. "Dia punya banyak bukti bahwa dia sangat mencintaimu... lalu kenapa kau meminta masa depannya sebagai bukti...."

"Tidak... hiks...." Hinata terisak sambil menggelengkan kepalanya kencang. "Aku mencintai Naruto-kun...."

"Sekarang kau tahu kenapa aku tak mengizinkannya bertemu denganmu. Aku menyayangimu Hinata, kau sudah aku anggap sebagai anak sendiri. Dan sebagai seorang ibu, aku tak ingin anak-anakku saling menyakiti... dan yang sedang aku lakukan saat ini adalah menjauhkan kedua anakku yang saling menyakiti satu sama lain. Naruto yang menyakiti hatimu dengan cintanya yang memaksa, dan kau yang menyakiti Naruto dengan keraguanmu..."

Hinata sesegukan semakin menjadi. "Aku mencintainya Kaa-chan kumohon percayalah......"

"Naruto sudah membuktikan cintanya padamu. Kau juga harus membuktikan cintamu... Kau harus selalu bersamanya di saat tersulit dalam hidupnya...."

Hinata mengangguk cepat dan membuat Kushina tersenyum sambil merentangkan tangannya. Hinata berlari masuk kedalam pelukan Kushina dan menangis disana.

"Kau tahu Hinata-chan... aku tak bisa berlama-lama marah padamu..." Kushina mengecup sekilas sisi kepala Hinata.

"Boleh aku memanggil Kaa-chan lagi...?" Hinata menyandarkan dagunya pada pundak Kushina.

"Tentu boleh sayang..." Kushina mengelus sayang bagian kepala Hinata. "Tolong buktikan rasa cintamu padanya... besok temuilah dia sebelum memulai operasi...."

"Kenapa harus besok? Kenapa tidak sekarang?" Tanya Hinata sambil mendongakkan kepalanya.

"Naruto harus masuk ruangan isolasi malam ini, luka di tangan kanannya harus di sterilkan sebelum disambung dengan tangan lain."

...

Hinata bergegas cepat berjalan di area parkiran Tokyo Hospital. Ia lupa bahwa hari itu adalah jadwalnya untuk menjalankan wajib lapor ke kantor polisi Jepang. Ia tak dapat datang lebih awal kerumah sakit, dan juga hampir terlambat. Transplantasi Naruto akan dimulai sepuluh menit lagi, dan sejak tadi ponsel pintarnya terus menerus berbunyi. Kushina tak henti-hentinya memastikannya untuk datang, baik itu melalui telepon ataupun pesan.

"Moshi-moshi Kaa-chan..." Hinata mengangkat panggilannya tanpa membaca nomor dan nama yang tertera di sana.

"Hyuuga-san ini dengan Nara Shikamaru." Sahut seseorang di ujung telepon.

Hinata mengernyitkan dahinya, ia menjauhkan telinganya dari ponsel berwarna rose gold itu dan menatap nomor asing yang tertera di sana. Tak biasanya penyidik itu menghubunginya, apalagi mereka baru saja bertemu di kantor polisi. "Ada apa Nara-san...?" Tanya Hinata tanpa menghentikan langkahnya.

"Bisa kau ke unit gawat darurat Tokyo Hospital, sekarang, sebentar saja...? Kami memerlukanmu untuk menandatangani surat persetujuan tindakan medis. Terdakwa Ootsutsuki mencoba bunuh diri dengan menelan cairan pembersih kamar mandi, kami membutuhkan tandatanganmu karena terdakwa tak punya keluarga terdekat selain kau."

つづく
Tsudzuku

Sweet DreamWhere stories live. Discover now