"Oh..Ya sudah makasih ya, Pras. Aku jadi merepotkan kamu."

"Tidak apa Mbak, sudah tugas saya. Saya permisi dulu Mbak."

Kinara mengangguk kemudian membuka kotak tersebut, liurnya seketika menetes andai tidak ditahannya. Nasi putih dengan lauk udang goreng dan sayur capcay, mungkin terlihat biasa saja bagi orang lain tapi untuk Kinara istimewa. Ia makan dengan lahap sampai habis tidak tersisa, kemudian ia ke pantry mencuci kotak bekel itu dan meletakkan di rak piring siapa tahu besok kotak tersebut diambil pemiliknya.

🍁🍁🍁

"Sudah Pras?"

"Sudah, Pak. Sudah dimakan juga," lapor Pras.

"Jangan lupa setiap hari, kalau susunya habis lapor."

"Iya Pak."

Gara kembali ke ruangannya setelah menemui Pras, ia sengaja meminta Pras agar merahasiakan yang menyuruhnya. Beberapa waktu lalu setelah perempuan itu menangis dalam ruangannya, ia mencari cara agar Kinara tidak perlu bersusah payah pergi keluar mencari makan. Ia tidak suka melihatnya kepayahan, ia takut terjadi apa-apa dengannya.

Meskipun ia hanya menebak dan tidak yakin seratus persen jika Kinara hamil, ia ingin menjaga wanita tersebut. Kebetulan saat ia lewat depan ruangan divisi Kinara, dirinya mendengar percakapan Rani dan Kinara tentang rumah makan langganannya. Dengan segera ia mencari rumah makan tersebut dan memesan menu yang Kinara sukai.

Tidak susah mencarinya dan entah kebetulan atau bagaimana, rumah makan tersebut milik mertua sahabatnya yang membuka cabang di kota ini. Senyum mengembang di bibirnya yang sensual melihat wanita itu lebih banyak tersenyum walau bukan karenanya.

"Aku harap kamu hamil, maaf harus mengikatmu dengan cara seperti. Aku memang laki-laki pengecut menggunakan cara kotor. Maaf!"

🍁🍁🍁

Kinara menghela napas panjang saat hujan mengguyur kota dengan derasnya. Sial! Kenapa saat jam pulang, sialnya lagi Bian sedang di luar kota tidak bisa menjemputny. Harusnya tadi ia menerima tawaran Rani untuk mengantarnya. Ia tidak mungkin minta Vya menjemputnya, Bian bisa mencincang dirinya jika mengusik perempuan ayu tersebut. Laki-laki itu begitu mencintai Vya sepenuh hati, andai saja ada yang mencintai dirinya seperti Bian. Tapi itu tidak mungkin, laki-laki seperti apa yang akan mencintai perempuan dengan label pembunuh.

Huft! Kinara kembali masuk ke dalam lobi kantor dengan langkah gontai menunggu hujan reda sepertinya lama. Ia duduk di sisi ujung dekat jendela kaca. Jari-jarinya menari lincah di atas layar handphonenya, mencari-cari layanan taksi online. Entah semalam ia mimpi apa kesialannya berlanjut. Operator layanan taksi online sedang mencarikan armadanya untuk Kinara.

Bagaimana lagi? Mungkin ia akan naik ojek di dekat perempatan jalan, bila hujan sedikit reda. Ia meletakkan kembali benda tipis persegi panjang itu ke dalam kantung tasnya kemudian mengambil majalah di meja.

"Wah..wah...tidak disangka bertemu pembunuh di sini, apa kabar, Kin?"

Mendadak tubuh Kinara menegang, perempuan itu menghampirinya. Sampai sekarang dirinya selalu ketakutan jika Sheila menyapa, ia takut perempuan itu berbuat macam-macam kepadanya. Sesaat ia diam, mengatur napas untuk menenangkan dirinya sebelum meladeni wanita dihadapannya ini.

"Jaga ucapanmu!" desis Kinara geram yang kini berdiri berhadapan dengan Sheila. Meski dalam hati ia takut, namun ia berusaha terlihat tenang.

"Kenapa? Benar bukan? Pembunuh tetap pembunuh, Kin. Mungkin orang-orang di sini tidak mengetahui siapa dirimu sebenarnya tapi... sepertinya sekarang mereka mulai mengetahuinya siapa dirimu," seringai kemenangan tercipta di bibir Shela. Rupanya dia sengaja menghampiri dirinya untuk mempermalukan dirinya di depan umum.

Hah! Dia harus tenang, percuma meladeninya dengan emosi, "berapa kali aku bilang, La, aku bukan pembunuh. Bukan.pembunuh!" ucapnya penuh tekanan menegaskan maksudnya.

"Kamu boleh menyangkalnya tapi cap sebagai pembunuh tidak bisa begitu saja hilang. Kamu boleh berganti penampilan tapi itu tidak mengubah apapun. Apa kamu sadar? Setiap melihatmu Gara seolah diingatkan dengan Vina, karena itu sampai saat inipun Gara masih membencimu," balas Sheila dan sepertinya dirinya menang melihat wajah Kinara yang memucat. Sheila mendekati dirinya dan berbisik pelan di telinga Kinara,"aku tahu kamu mencintainya, sayang dia membencimu. Kau dengar? Sa-ngat mem-ben-cimu! Jadi menjauhlah!"

Sheila berbalik pergi meninggalkan Kinara yang diam tidak bergerak juga tatapan heran beberapa karyawan yang kebetulan lewat. Mereka berhenti mendengar ucapan Sheila yang mereka ketahui sebagai kekasih bos-nya.

Bisik-bisik di sekitarnya menarik Kinara dari keterkejutannya, ia terhuyung ke belakang kakinya menabrak sofa ia jatuh terduduk. Muka Kinara pucat, darahnya seperti terhenti di lehernya, pandangannya kosong menerawang jauh. Tepukan ringan di lengannya menyadarkan dirinya, ia tersenyum kepada Ana. Dengan cepat ia meraih handphone-nya di saku tas kemudian menelepon Vya. Ia terpaksa dan tidak tahu siapa yang harus ia hubungi.

"Hallo, Vy? Bisa menjemputku di kantorku? Aku mohon Vy..." suaranya terdengar lirih seolah-olah tak mempunyai suara.

"....."

"Terimakasih."

Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, memasukkan ponselnya dan kepalanya menunduk berpura-pura tidak mengetahui dirinya menjadi pusat perhatian teman-temannya. Air mata mengenang di pelupuk matanya dengan usaha mati-matian ia halau agar tidak menetes. Tidak! Bukan di sini, ia tidak boleh menangis di sini!

Ya Tuhan!

🍁🍁🍁

Waiting For Love (Sudah Terbit)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora