7

12K 1.4K 95
                                    


🍁🍁🍁

Pagi menjelang. Suara kokok ayam membangunkan Kinara dari tidur lelapnya. Ia membuka mata, melihat jam dinding kamarnya, pukul lima pagi. Ia menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuh sebelum turun dari tempat tidur. Kinara lalu masuk ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Dia ingin jalan-jalan sebentar, mengenang masa lalunya.

Setelah mengambil jaket tipis untuk membungkus tubuhnya yang hanya memakai piyama, ia keluar dari pintu belakang dan langsung berhadapan dengan kebun sayur, bunga, gudang pakan ternak. Kinara kemudian menutup mata. Merentangkan tangannya lebar-lebar layaknya sayap burung saat terbang. Menghirup udara sebanyak dia mampu dan menghidu aroma tanah basah yang begitu ia sukai sejak lama. “Ma, aku pulang,” gumamnya lirih. Ia menyusut air mata yang mengalir di sudut mata, mengingat kenangan akan kebersamaan mereka membuatnya jadi mellow. Andai mamanya di sini mungkin saat ini ….

Ia membuka mata. Menoleh kanan-kiri mencari suara teriakan yang cukup kencang. Siapa pagi-pagi begini sudah berada di lapangan? Ia pun berjalan mengitari rumah. Rupanya rumah ini banyak mengalami perubahan. Namun, bukan itu tujuannya. Ia ingin tahu siapa yang berkuda pagi-pagi buta begini. Ia terus melangkah membawa dirinya pada sumber suara.

Di sana pria itu dengan gagahnya menunggangi kuda jantan yang juga sama gagahnya. Siluet tubuh Gara tercetak jelas diterpa sinar mentari pagi. Keringat membasahi tubuhnya dan membayang di kemeja yang ia kenakan. Sungguh, hal itu membuatnya tampak menantang dan menggairahkan. 

Ya ampun Kinara, apa yang kamu pikirkan!” batinnya cepat. Astaga! Apa yang meracuni otaknya hingga ia memuji musuhnya itu? Mungkin karena ia lapar, makanya otaknya menjadi gila. 

Di lapangan, Gara tengah memacu kuda jantan hitam. Tubuh tegap dan begitu cantik yang ia datangkan langsung dari Inggris. Meski harga kuda-kuda itu mahal, tapi hasil yang didapatkannya sepadan. Saat ini ia berusaha mengawinkan kuda-kuda mahal itu dengan kuda lokal kualitas terbaik untuk memperoleh keturunan yang lebih baik.

Gara memacu Maxime dengan kecepatan sedang laju pelan ke pinggir lapangan untuk menghampiri Kinara. Ia tahu wanita tersebut memperhatikan dirinya dari tadi. Gara agak kaget melihat kemunculannya. Tidak menyangka saja akan melihatnya sepagi ini. "Bersiaplah jam sembilan nanti. Pengacara papamu akan datang,” ucap Gara memutar kuda, meninggalkan Kinara.

"Aku tidak janji menemuinya."

Gara menarik tali kekang Maxime agar berhenti. Ia menolehkan wajahnya sedikit ke belakang. Tatapan pria itu begitu tajam hingga menciutkan nyali lawan yang menantangnya. "Kamu harus menemuinya. Jangan membuatku malu dengan tingkah bodohmu. Dan satu lagi, jangan membuat keributan. Camkan itu." Setelahnya ia mengomando Maxime untuk berlari kencang meninggalkan debu berhamburan di depan Kinara. 

Wanita itu menatap tajam punggung Gara bagai laser yang mampu melubangi tubuh. Darahnya menggelegak naik mencapai ubun-ubun secepat roller coster. Tangan itu menggepal kuat di sisi tubuh sampai buku-buku jarinya memutih. Gemertak gigi Kinara terdengar keras seolah mengunyah tulang muda. Sialan! Selalu saja memerintah tanpa bertanya. Ia kemudian berbalik meninggalkan lapanga dengan langkah panjang, cepat, dan entakan kuat.

🌰🌰🌰

"Selamat pagi Mbak Kin, Pak Gara," sapa Pak Johan.

“Pagi, Pak.” Kinara menerima jabatan tangan Pak Johan. Beliau datang dua puluh menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan.

Gara menggerakkan tangannya meminta Pak Johan duduk. "Segera dimulai saja, Pak," ujar Gara setelah Pak Johan duduk dengan nyaman.
Pria berusia lima puluhan lebih itu mengangguk. Ia segera mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tasnya. Pak Johan mulai membuka amplop bersegel tersebut. Mengeluarkan map kemudian membacakan isi wasiat Pak Aries.

Waiting For Love (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now