Your Playgirl 3

532 38 1
                                    

"JADI, status kita gimana sih sebenarnya?" Franky menyeka mulut dengan kasar. Ia baru melahap steik dua potong sebelum meletakkan garpu dan pisaunya dengan sentakan gaduh.

Aku mengiris steik. Sewaktu Franky bilang "kita harus bicara", aku sudah menduga pertanyaan sejenis ini akan muncul juga. Kami sempat pacaran beberapa bulan sebelum akhirnya hubungan kami kandas. Jangan tanya alasan putusnya. Aku merasa waktu kami sudah habis. Aku masih ingat, Franky merengek dan memohon supaya aku mempertimbangkan keputusanku. Namun, aku tidak bisa mendikte perasaanku hanya karena kasihan. Franky butuh waktu cukup lama untuk memulihkan diri dan menghilang dari hadapanku sebelum kembali gigih mengajakku jalan.

Aku menatap Franky sungguh-sungguh. "Memangnya nggak cukup ya gue bilang gue suka banget sama lo?"

Untuk sesaat Franky kebingungan. Matanya bergerak gelisah seolah mendengarku mengatakan sesuatu di luar perkiraannya. Untuk ukuran cowok yang sudah lebih dari dua tahun mengejarku dengan gigih, Franky termasuk sangat manis.

"Tapi ... tapi...." Franku tergagap. Wajahnya sungguh membuatku kasihan. Aku meraih tangannya lembut.

"Gue nggak suka lihat lo digoda cowok-cowok lain!" Franky berhasil menyemburkan amarahnya dengan wajah memerah.

"Ah." Aku mendesah pelan. Masalahnya, aku suka digoda cowok-cowok itu. Dipuja, dikagumi, didamba, diimpikan. Semua itu membuatku hidupku lebih bergairah.

"Gue kurang apa sih, La?" Suara Franky terdengar seperti rengekan.

Aku meletakkan garpu dan pisau serta membiarkan jari-jariku terjalin. "Lo perfect," senyumku tulus. Franky memang sempurna. Penampilannya keren---tidak kalah dengan cowok-cowok di drama Korea---karakternya sopan dan menyenangkan, dan orangtuanya

tajir.

"Tapi..." Franky cemberut.

"Kata siapa ada tapi?" Aku tertawa.

"Kalau gue memang perfect, kenapa lo nggak mau jadi pacar gue lagi?"

Aku mengembuskan napas panjang. "Bukannya yang kita lalui bersama sudah cukup?" Aku memberi senyum sangat manis setelahnya mengucapkan pakem yang sering kudengar di film-film. Bedanya, yang mengucapkan kalimat sejenis itu biasanya kaum pria.

"Apa salah kalau gue mau lebih dari itu?" tanya Franky. "Gue serius, La. Gue ingin bisa ngomong ke orang-orang bahwa lo pacar gue. Gue kepengin teriak sama cowok-cowok supaya jangan macem-macem sama lo karena lo milik gue." Franky diam, mendengus kesal. "Gue nggak mau nahan keki waktu denger lo jalan sama si A, si B, si C. Jujur aja, gue kepengin hajar semua cowok itu, La. Gue tahu lo memang bukan monopoli gue. Gue nggak berhak marah karena lo nggak pernah bohong sama gue. Gue tahu persis lo kayak apa, dan gue bersedia menoleransi semua karena ... karena...." Franky mengepal di meja. Rahangnya menegang. Seharusnya aku iba, kasihan, bahkan merasa bersalah karena telah menggantung perasaannya. Tapi, aku tidak merasakan apa-apa. Aku hanya ingin rengekannya segera berakhir.

" I really really love you, Lyla."

Aku mengerjap, senyumku patah. Aku sudah menduga kata-kata itu. Ini bukan kali pertama aku mendengar kalimat itu dari mulut Franky. Tidak ada gunanya. Aku terbiasa mendengar kalimat itu, sekalipun menurut orang terasa sakti. Bagiku, kata "cinta" seperti barang obralan di mal, bertaburan di mana-mana. Tiga puluh persen, lima puluh persen, kadang plus dua puluh persen lagi, bahkan sampai delapan puluh persen.

"Gue...." Franky lagi-lagi terdiam. Ia menekuri piringnya. Steik di dalamnya nyaris utuh. "Gue nggak ngerti lo, La. Semua orang bilang lo playgirl, hobi mainin cowok, hobi morotin cowok. Tapi, gue nggak merasa lo kayak gitu. Setiap kita jalan, gue hepi. Obrolan kita nyambung, selera kita klop. Gue ingin ngebuktiin sama orang-orang bahwa lo nggak kayak yang mereka gosipin. Lo cewek baik-baik. Lo... lo cuma kelewat ramah sama cowok-cowok. Mereka nggak bisa ngomongin lo kayak gitu hanya karena lo cakep dan seksi. Gue nggak terima, La."

Aku terperangah. Walau sudah terbiasa disebut playgirl dan sama sekali tidak keberatan, aku terharu mendengar niat Franky.

"Gue nggak peduli sama opini orang, Ky." Senyumku melembut. "Yang penting bagi gue, lo nggak merasa gue seperti itu."

Franky mendongak, tatapannya begitu sedih dan menusuk hatiku. "Gue tahu isi hati lo, La. Gue tahu lo mencari orang yang bisa menaklukkan lo. Tapi, kenapa lo nggak ngasih gue kesempatan lagi?"

Aku mengerjap. Karena hati gue bilang, you're not the one, Ky, sebaris kata itu tiba-tiba saja melintas di benakku. Aku tersentak. Selama ini aku sendiri tidak mengetahui jawaban sesungguhnya. Tadinya aku ingin hidup seperti Aunt Lily. Mandiri, dicintai banyak orang, tanpa komitmen, tanpa ketergantungan, sebebas burung yang menari-nari di langit, sama sekali tanpa beban. Para cowok silih berganti menjadi pacarku. Sebelum cinta sepenuhnya menjadi hambar, aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan si cowok dalam hitungan waktu yang relatif singkat. Kebanyakan bisa menerima dan move on dengan kehidupannya. Aku curiga sebagian besar dari mereka berpacaran denganku hanya karena penasaran dengan seorang Lyla Melati. Hanya ada beberapa yang benar-benar tulus mencintaiku. Salah satunya Franky.

"Gue nggak mau nyakitin lo, Ky." Aku menjawab dengan suara selirih bisikan.

Namun, melihat ekspresi Franky, sepertinya aku telanjur menyakiti hatinya.

YOUR PLAYGIRL - Christina TirtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang