Chapter 7 : Missed Fragments

585 93 4
                                    

[Name] duduk sambil berkali-kali membenahi posisinya. Ia belum terbiasa menggunakan pakaian milik orang lain, yang dipinjamkan Yosano kepada gadis itu. Ia mendekap tubuh dengan lengannya sendiri, menatap Dazai yang sedang sibuk menerima telepon. Pesanan kopi panas dan matcha latte hangat yang mereka pesan datang, sehingga [Name] mengangguk kepada sang pelayan yang tersenyum. Mereka berada di kafe Agensi sekarang, [Name] yang merasa asing dengan tempat ini tak ambil pusing dan langsung menikmati kopi panasnya. Sesaat kemudian, Dazai sudah menutup telepon dan memandang [Name]. Gadis itu menyadari Dazai menatapnya, langsung angkat suara.

"Jadi... kalian menculikku?"

Dazai menggeleng. "Kami menyelamatkanmu."

[Name] mendecih dan memutar bola mata malas. Sudah berapa kali ia mendengar Dazai mengatakan kalimat itu?

"Oh ayolah. Kau berhutang banyak penjelasan kepadaku. Mana ada orang yang menyelamatkan musuhnya sendiri secara cuma-cuma? Apa yang kalian mau dariku?"

Tentu saja [Name] tahu betul hal itu. Sudah semenjak tadi ia memutar otak, untuk apa anak buah ayahnya menyerang ia tadi? Apa pula urusan Agen Detektif Bersenjata dengannya hingga mau repot-repot menyelamatkan ia dan membawanya ke sini? [Name] memang mengerti dia masih jadi status buron oleh detektif-detektif itu---mengingat hal yang sudah ia lakukan di kota Yokohama ini, tapi bukannya mereka akan diuntungkan apabila ia dihabisi hingga tak bernyawa oleh anak buah ayahnya sendiri? Lalu kenapa mereka menyelamatkannya? [Name] bergidik ngeri membayangkan hal itu dan sampai sekarang belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi berkelebat di kepalanya.

Dazai berdeham, kemudian memajukan tubuhnya sepersekian senti mendekat ke arah [Name].

"Karena aku ingin bermain denganmu." Cengir Dazai dan disambut gejolak emosi oleh gadis di hadapannya.

"Izinkan aku membunuhmu sekarang."

"O-wow.. bagaimana bisa kau mendapatkan pisaumu itu nona?" Dazai melirik dengan sedikit tercengang [Name] yang sudah menggenggam erat pisau miliknya. Sedetik kemudian ia menyeringai.

"Kau menyimpannya di saku mantelmu. Untuk apa kau menyita senjataku?"

"Dan kau mengambilnya tanpa menyentuhku sekalipun? Hebat!" Puji Dazai yang sudah kembali ke posisi awal dan meneguk cangkir matcha latte.

"Itu pisau khusus yang sudah seperti jiwa ragaku. Dengar, ayah membuatkan spesial untukku, umm.. di dalamnya semacam ada mikro chip berisi program? Ya, program. Itu terprogram untuk menjadi senjata majikannya. Kau pernah dengar tentang kecerdasan buatan? Ia memiliki itu, dan meskipun ia tidak berada di aku, serta masih dalam jangkauan, ia akan kembali padaku saat aku membutuhkannya."

[Name] mengakhiri penjelasannya sambil melipat pisau yang ada di tangannya dan di genggam erat-erat. Dazai dibuat terperangah akan penjelasan gadis itu, sampai ia bertepuk tangan kecil dan mulutnya membulat. Namun itu tak berlangsung lama, kendati Dazai kembali menyeringai tipis.

"Wow aku tersanjung dengan itu, nona. Dunia ini sudah terlalu canggih rupanya, sampai-sampai wanita cerdas sepertimu bahkan bisa terbodohi."

"Apa maksudmu?"

"Kemarikan benda itu dan aku simpan kembali di saku mantel. Kau, coba sekali lagi melakukan hal tadi."

Perintah Dazai. [Name] yang setengah penasaran tapi juga setengah was-was dengan ragu menyerahkan pisau tersebut sambil menautkan alis.

"Julurkan tanganmu di atas meja, dan ketika hitunganku sampai 3, lakukan hal tadi."

"1.. 2.. 3.."

Ability : No longer human

Pletak

Pisau itu jatuh ke lantai. Entah bagaimana, kejadian itu berlangsung begitu cepat sehingga [Name] hanya mengerjapkan mata. Di saat hitungan ke-tiga tadi dengan cepat Dazai meraih tangan [Name], dan pisau yang hampir sampai ke tangan gadis itu tergeletak tiba-tiba.

SerendipityWhere stories live. Discover now