Epilog

48.3K 2.8K 196
                                    

Epilog

            “Apa itu?” pria itu meletakkan novel yang ia baca begitu aroma masakanku tercium indranya. Aku hanya memasang senyum sok misterius. Ia nyaris tertawa.

            “Jangan sok manis begitu, kau  mau membuat bangkrut pedagang gulali, ya?”

            Aku pura-pura sinis. Tak terbuai oleh pujiannya kemudian mengambil sendok.

            “Ini masakan pertamaku!” seruku girang, Mufti sampai terheran-heran melihat perilakuku yang gampang berubah. Aku menaikkan alisku, memainkan wadah makanan ke udara dan Mufti menggeleng pelan. Aku sempat mendengar ia beristighfar lirih.

            “Killa, kau mau menyuruhku makan atau membuatku mual dengan kelakuanmu itu?”

            Aku mendesis, tapi muncul niat iseng berkeliaran di otakku. Mufti menungguku berbicara.

            “Ish, kalau Kak Mufti sudah mencicipi makananku, pasti ketagihan!” aku percaya diri, memandang remeh persepsi Mufti saat ini. Lelaki itu sekarang benar-benar tertawa.

            “Aku ingin tahu,” Mufti membuka mulutnya.

            “Berdoa dulu, Kak!”

            Ia tersenyum dan melempar pandangan geregetan padaku. Aku nyengir. Ia mengucapkan doa mau makan dan belum sempat ia melakukan aktivitas lanjutan aku sudah memajukan sendokku di depan mulutnya. Mufti ternganga.

            “YA! Kesini kau gadis tak sopan!” Mufti mengomel sambil mengunyah makanan yang kusuapkan. Lelaki itu geram.

            “Kan sudah berdoa tadi. Katanya nggak sabar?” aku menjual tampang polosku, membuat Muti benar-benar frustasi. Aku terkekeh. “Maaf ya, Kak… aku bukan berniat memperlakukanmu tak sopan, tapi… aku…”

            “Kau apa?” ia mulai curiga. Kurasa topik pembicaraan kami akan berubah serius. Napasku yang semula ringan kini terkesan berat. Kutarik bibirku—mencoba tersenyum. Mufti menyipitkan mata. Baru-baru ini aku tahu, begitulah cara Mufti ketika ia tengah berpikir. Aku tak langsung menjawab rasa ingin tahunya. Tanganku mengambil bubur ayam dan menyuapinya lagi.

            “Kak, kau melupakan satu hal.”

            “Apa?” Mufti menyahut.

            “Kau mengabaikan fakta bahwa sebelum membaca novel kau tidur dan kau belum mencuci mukamu. Kupikir, Kak Mufti adalah lelaki cakap yang memperhatikan tata cara makan seorang lelaki.” Kubalikkan kalimat Mufti saat kami duduk di sebuah rumah makan—tatkala di perjalanan menuju Sukaraja. Bukannya geram, lelaki itu malah menampilkan deret giginya yang rapi. Awalnya ia hanya tersenyum lalu senyuman itu berubah jadi kekehan dan yang terakhir tawanya meledak.

            Aku sampai terbengong-bengong dibuatnya.

            “Rasanya itu adil.” Ia mulai menguasai diri. “Bagaimana bisa Allah menjodohkan wanita yang tidak memperhatikan tata cara makan dengan lelaki yang memperhatikan tata cara makan. Ah, kau meragukan keadilan Tuhan, ya?”

            Dan sejak kapan lelaki itu berubah jadi menyebalkan? Aku memandangnya dengan sinis. Kuletakkan sendok ke mangkuk.

            “Makan saja sendiri.”

            “Ayolah! Ini hanya fakta!” ia masih bersikeras dengan tuduhannya. Apalagi kalau bukan “wanita yang tidak memperhatikan tata cara makan berjodoh dengan lelaki tak memperhatikan tata cara makan” lalu ia menyebut itu sebagai keadilan Tuhan. Seseorang! Bantu aku memperbaiki otaknya yang kacau itu! Kumohon.

Serenade JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang