10. Dia Jodohku

36.4K 2.1K 257
                                    

"Stop! Stop! Astaga!" aku mengomel, Erma mengerem mendadak sepeda motor yang ia kendarai. Aku yang dibonceng sampai mual dengan caranya naik kendaraan. Lihat saja, dia memang perempuan tapi caranya mengendarai-mengerem-menarik gas benar-benar sama dengan preman-preman pasar. Astaga, dimana jiwa femininnya yang berteriak histeris saat melihat poster Super Junior di jalan?!

"Aku menghadap Pak Erwin dulu untuk meminta tanda tangan di laporan rotasi klinikku." Ucapku memperbaiki jilbab yang awut-awutan. Erma mengangguk.

"Aku di perpustakaan. Susul aku kalau urusanmu sudah selesai,"

Aku setuju. Kami pisah jalan. Aku menuju bangunan utara, menyusuri koridornya dan begitu sampai di ruangan dosenku, aku mengetuk pintunya.

"Masuk!"

Suara dari dalam memberiku lampu hijau untuk mengungkit gagang pintu, Baru saja aku berdiri di pintu, langkahku dihentikan oleh suara beratnya.

"Kalau mau bimbingan skripsi, besok saja." Ia memotong tanpa melihat aku yang datang membawa tiga tumpuk laporan rotasi klinik.

'Saya mau minta tanda tangan untuk laporan rotasi klinik, Sir."

Barulah, Pak Erwin mendongak, ia memperbaiki tangkai kacamata dan menatapku seksama. Pak Erwin tersenyum lalu menyuruhku duduk.

"Ini Pak laporan saya, mohon diperiksa dan ditanda tangani."

Dosen yang berkepala 5 itu menatapku, lalu beralih menatap tumpukan laporanku.

"Buka halaman yang harus kutandatangani, urusanku masih banyak."

"Tidak diperiksa dulu, Pak?"

"Aku sudah mengeceknya saat survey lapangan dulu. Aku percaya padamu, aku sedang menyiapkan konsep pengambilan sumpah dokter untuk angkatanmu yang direncakan 4 minggu lagi,"

Aku tersenyum, kubuka lembar persetujuan di laporanku dan memberitahu Pak Erwin bahwa itulah halaman yang membutuhkan tanda tangannya. Hanya butuh 3 menit dan aku sudah mengantongi tanda tangan dosen pembimbingku. Aku permisi.

***

Usai dari ruangan dosen pembimbingku, aku menuju tempat yang menyediakan jasa fotokopi untuk menjilid laporanku. Sambil menunggu selesai, aku duduk di kursi dan bermain game di handphone. Setelah peristiwa jatuhnya smartphoneku karena cerita ibuku, aku hanya memakai ponsel yang bisa dipakai untuk SMS dan telpon. Sama sekali tak bisa digunakan untuk mengakses internet, jejaring sosial dan sebagainya. Tapi, untunglah, aku menerima itu dengan baik. Cukuplah smartphoneku yang rusak, aku tak mau kalau yang rusak itu hatiku. Na'udzubillah, di dunia ini belum ada perdagangan 'perasaan' 'kan?

Omong-omong, bagaimana keadaan Kak Mufti? semenjak aku pulang rotasi klinik kemarin malam, aku belum bertemu dengannya. Sekedar menjenguk dan membawakannya buah saja belum. Ah, ingin sekali aku melihat wajahnya. Apa dia masih tersenyum? Atau dia... Astaghfirullah, Killa! Berhenti memikirkan Mufti, kumohon... dia saudaramu. Dia muhrimmu. Berhenti, jangan gila!

Aku tergagap saat ponselku bergetar. Sebuah panggilan dari ibuku. Aku buru-buru mengangkatnya.

"Pulanglah, ada beberapa hal yang butuh kau, Nak."

Dahiku mengernyit. Pulang dan butuh aku? Tumben sekali permntaan ibu begitu. Tanpa curiga sedikitpun aku mengiyakan. Kututup panggilan ibu lalu berdiri di depan counter. Petugas fotokopi masih menjilid laporanku dan setelah selesai, ia berdiri di depanku. Ia menyebutkan nominal yang harus kubayar dan segera kuberikan uang pasku.

"Terima kasih,"

Aku mengangguk.

***

Aku baru saja memasuki halaman rumah, biasanya aku pulang ke sini seminggu sekali. Selebihnya, aku selalu menghabiskan waktu di asrama. Mataku menangkap keanehan. Ada 3 buah mobil parkir di halaman rumah dengan rapi. Apa ada tamu? Apa ini ada kaitannya dengan telepon ibuku? Hash, daripada menduga-duga dan penasaran, sebaiknya aku masuk rumah.

Serenade JinggaWhere stories live. Discover now