9. Saudara Sepersusuan

31.1K 2K 63
                                    

Saudara Sepersusuan

 

 

            Aku duduk di taman klinik bersalin. Organ pernapasanku mencoba menghirup udara sepuas-puasnya. Kuamati kulit tanganku yang sekarang terlihat kurus. Aku mendesah, memalingkan wajah secara parabol. Di waktu senggang begini, aku mencoba menghitung jumlah percabangan pohon akasia yang kokoh di samping kursi taman—10 meter dari tempatku duduk. Satu—dua—tiga—hingga kebosanan kembali menjejal paksa.

            Kulirik jam tanganku. Hari ini, genap lima minggu, Mufti dipindah ke Jakarta untuk mendapatkan perawatan intensif. Beberapa organnya mengalami kerusakan. Aku masih ingat, ada 3 titik tubuhnya yang terkena luka tembak: lambung, lengan dan belikat sebelah kanan. Kuamati tanganku. Rasanya bau amis darahnya masih bisa kucium. Suara lirihnya masih jelas di pendengaranku dan genggaman tangannya yang hangat masih begitu terasa. Aku menunduk.

            Allah, bisakah rotasi klinikku ini dipercepat?

            “Masih memikirkan Mufti?”

            Aku mengusap-usap wajah agar tak terlihat bersedih. Kutelengkan kepalaku, di samping kanan—Wali duduk dengan menyilangkan kaki. Sorot matanya nanar ke depan, entah apa yang ada dipikirannya.

            “Aku tak tahu kapan ia akan siuman dari komanya, kapan ia bisa membuka mata dan melihat orang-orang yang bersedih karena keadaannya ini. Hal seperti ini identik dengan ketidakpastian, ketidakpastian yang menimbulkan kegelisahan. Analoginya sederhana, mirip rasa gatal yang harus digaruk. Berita baiknya, hatiku memberikan reaksi. Dan ini adalah keputusanku sebagai salah satu hubungan sebab akibat.”

            Wali mengernyit. Mendengarku berbicara membuat keningnya berkerut.

            “Ingat niat utamamu ada di sini.” Wali pergi.

            Aku menunduk, menangkupkan kedua telapak tanganku di wajah. Otakku yang sederhana mencoba mencerna kalimat Wali tadi. Sepertinya, Wali tak menyukai sikapku yang tak professional. Kuakui, aku terlalu mengkhawatirkan Mufti yang notabenenya bukan siapa-siapaku. Astaghfirullah, Allah… ighfirliy.

***

            Kulingkari agendaku hari ini. Aku tersenyum. Aku sudah memiliki 20 kasus yang terselesaikan. Kuketuk-ketukkan penaku di meja. Melihat beberapa jadwal lain. Ah, beberapa minggu terakhir, Wali tak mengijinkan aku memiliki waktu luang. Ia sangat mengerti keadaanku. Jika aku santai, otakku yang terbatas ini akan mengingat orang yang jauh dari tempatku berada. Jadi, hal terbaik untukku adalah dengan memperbanyak aktivitas. Masa bodoh dengan sebutan workaholic dari beberapa seniorku di klinik.

            Namun, sekalipun aku sudah menggila dengan rutinitasku. Aku tak mau kesempatanku di malam hari hilang. Pertama, aku menyuruh Erma mengunjungi Mufti yang dirawat di rumah sakit. Aku akan menelpon gadis penyuka Kpop itu dengan menggunakan jejaring sosial dan memanfaatkan video call.

            Itu adalah ide terbaikku. Cukup 10 menit, memandangi mata terpejamnya, hidungnya yang disumbat selang atau wajah pucatnya. Itu jauh lebih menenangkan ketimbang aku harus uring-uringan menghadapi pasienku karena tak tahu perkembangan Mufti.

            Oh, Mufti ada di dekatku aku gila. Mufti jauh dariku, aku lebih gila. Oke, dalam hal ini, siapa yang patut kusalahkan? Aku dengan bodohnya menawarkan hatiku untuk masuk dalam penjaranya. Bukankah ini konyol dan bodoh? Rupanya, jatuh cinta itu berpeluang menjadikan seseorang mengidap ketakwarasan.

            “Killa, aku mau ke toilet dulu, kuletakkan androidku di meja aja ya? Kau bisa melihat wajahnya dari samping. Tak apa, ‘kan?” Erma menatapku, ia terlihat menahan sesuatu. Aku mengiyakan dan seperti pemaparan Erma, aku bisa melihat Wajah Mufti dari samping. Aku bisa leluasa melihat tubuhnya yang tergeletak di ranjang. Mataku beralih ke sudut yang lain. Sebuah kursi kosong di sisi ranjang.

Serenade JinggaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz