6. Target

30.4K 2K 41
                                    

 “Killa, kau sudah mendapat berapa kasus?” suara dosenku membuatku memutar bola mata. Aku sedikit cemberut, mulai berpikir untuk mengatakan bahwa aku telah menemukan banyak kasus. Ah, tidak! Itu namanya berbohong dan itu dosa.

            “Masih tiga, pak.” Sahutku malas-malasan. Aku duduk di ranjang dan menghidupkan laptopku sementara tangan kiriku memegangi smartphoneku.

            “Hanya 7 minggu dan 5 hari bertugas, kamu hanya mendapat 3 kasus?” nada dosenku sedikit meninggi, sepertinya hari ini aku siap-siap mendapat rentetan kalimat panjang yang melebihi kereta api panjangnya. Plus nada-nada crescendo yang patah-patah, yang bakal memekakkan telinga. Jangan tanya apa itu, sekalipun dosen pembimbingku itu laki-laki, ia bisa lebih cerewet jika dibandingkan dengan ibu-ibu di akhir bulan. Aku menggersah pelan, buru-buru berbicara sebelum mendengar nada crescendo lanjutan.

            “Sebenarnya saya mendapat 4 kasus; tapi yang satunya bukan bidang rotasi klinik kali ini, Sir.” Aku mencoba membela diri.

            “Besok kamu harus menemukan tiga kasus lagi. saya tak mau tahu.”

            “Ya, Sir.” Balasku dengan yakin sebelum ia mematikan panggilannya, padahal dalam hati aku tengah menahan omelan. Selalu begitu. Pak Erwin tak pernah berubah. Dulu saat aku ada di klinik mata, beliau tak pernah lupa menelpon dan menanyakan berapa kasus yang kutemui. Beliau memang seperti ini, memberiku target jumlah kasus tanpa mau tahu bagaimana kondisi di real lapangan. Dan ini membuat batok kepalaku mau meledak.

            Kalau sudah begini, aku mau apa? Disyukuri saja. Toh, yang paling mendapat manfaat dari sikap beliau yang seperti ini adalah aku. Kali saja, inilah cara beliau membimbing mahasiswa program profesi dokter. Beruntung sekali karena aku mempunyai pembimbing yang peduli, walau kepeduliannya di atas kata wajar dan membuatku menggelepar. Aish, kenapa aku jadi lebay begini?

            “Killa…,” suara panggilan diikuti ketukan pintu. Aku menyahut lalu memakai jilbabku dan membuka pintu.

            “Eh, Kak Wali.” Sapaku tak bisa berbasa-basi. Wali tersenyum, ia memasukkan salah satu tangannya ke kantong celana.

            “Kamu malam ini tidak ada jadwal piket di klinik, kan?”

            Aku menggeleng. “Besok malam jadwalku, Kak. Ada apa?”

            “Aku ingin mengajakmu ke Sukaraja bagian barat. Kurasa, kau perlu menyelesaikan banyak kasus untuk laporanmu.”

            Wali begitu tahu apa yang harus kukerjakan. Setidaknya, sebagai kepala klinik, ia cukup respect padaku dan ini sangat memudahkanku menyelesaikan tugasku dengan baik. Aku mengiyakan ajakannya.

            “Bagaimana jika kita mengadakan penyuluhan, kali saja ada beberapa problem,” lanjut Wali meyakinkan. Aku mengangguk lagi.

            “Aku ganti baju dulu, ya?” kututup lagi pintu kamarku. Kuhampiri laptopku yang baru saja kunyalakan tadi, sekarang kumatikan dan bergegas menuju lemari kecil. Kupilih baju santai yang sopan untuk kali ini. Dan pilihanku jatuh pada maxi berwarna hijau toska.

***

            “Rumah siapa, Kak?”

“Tadi suaminya ke klinik dan mengatakan kalau anaknya sedang mengidap penyakit kulit, kau bisa membantuku, kan?”

Aku melihat-lihat sekitar, rumahnya tak terlalu buruk. Ada angin-angin yang menjadi tempat pertukaran udara, lantai semen dan beberapa lemari berderet rapi di sebelah kanan kursi. Tapi, aku begitu miris melihat penataan ruangan. Ada beberapa baju yang berserakan di kursi, jendela kaca yang tak pernah dibuka ata kotoran sawang yang jarang dibersihkan. Aku menggeleng, beristighfar dalam hati.

Serenade JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang