Extra Part 1

13.5K 1.3K 149
                                    

Seharian ini aku dibuat uring-uringan olehnya. Asal tahu saja, saat dia ada tugas, harus pergi ke suatu tempat dengan mendadak atau terpaksa tidak pulang sebulan, aku bisa memahaminya.Ini kusebut resiko menikah dengannya. Juga resiko menerima mas kawinnya.Aku bahkan juga tidak keberatan saat dia hanya bisa mengatakan cinta di ujung telpon.

Bukan bermaksud kekanakan. Aku tidak selabil itu. Hanya saja, sejak usia pernikahan kami menginjak tahun ke-5, baru sekarang dia seperti ini. Dia lupa ulang tahun perkawinan yang biasanya setiap tahun selalu kami lewati berdua. Walau hanya dengan ceritanya yang singkat dan pendek kemudian aku tertidur di pahanya.

"Mukamu jutek amat." Irma menyela, aku hanya memutar bola mata dan memasang wajah malas. "Apa lima tahun menikah dan belum dikaruniai anak bisa membuat seseorang jadi cepat tua?"

Aku menghempaskan bahu. Irma benar. Sampai hari ini aku belum bisa memberi seorang keturunan untuk Mufti. Kesal karena keadaan, aku berdiri, meninggalkan Irma yang terbengong-bengong karenaku.

Salah siapa menyinggung perasaanku?

Aku berjalan dengan serabutan kemudian menutup pintu dengan cukup kuat sehingga menimbulkan bunyi berdebamyang keras. Seharusnya aku marah sekarang. Tapi aku tidak bisa sebab seorang pria berdiri tepat di depanku semakin merapat, menghilangkan jarak antara kami. Tubuhnya yang tinggi dan kekar begitu mengintimidasi. Aku mundur pelan, memilih menghindarinya hingga punggungku menyentuh tembok yang dingin.

"Maaf aku terlambat," suaranya mirip denting piano pada nada mayor, begitu lembut dan tenang. Sebuah senyum dilepaskan begitu rela dari bibirnya. Tulus. "Selamat ulang tahun untuk pernikahan kita."

Aku baru sadar bahwa dia membawa sebuah kue tart kecil. Tiba-tiba mataku terasa panas.

"Jangan cengeng. Ini hanya kejutan kecil dan aku tidak suka kalau kau menangis. Aku tidak punya permen sekarang, kau tahu."

Dia masih menyebalkan.

"Juga romantis, kan?" dua bibirnya berkedut.

"Narsismu melebihi mount everest, my baby bunny." Ucapku kemudian mencuri sebuah ciuman di pipinya. Ia yang semula kesal karena panggilanku langsung mencebik.

"Killa, kau selalu begitu. Aku tidak bisa marah karena ciumanmu padahal kau baru saja memanggilku dengan sebutan yang menjijikkan." Lalu Multi merangkul bahuku.

"Eh, mau kemana?" tanyaku ketika tersadar bahwa kami berjalan menuju parkir.

"Pulang."

"Aku masih ada shift kerja." tolakku, berhenti kemudian memandanginya dengan penuh rasa bersalah.

"Aku sudah ijin pada atasanmu. Tenanglah." ia kembali mengajakku berjalan, "kau tidak mau meniup kue ini bersamaku, ya? Ah, bahkan kita baru bertemu dan kau sudah menolakku. Aku ini pria yang sangat malang."

Aku segera mencubit perutnya dan dia hanya tertawa. "Kupikir, hari ini kau lupa, my baby bunny."

"Panggilan itu lagi." desahnya sok teraniaya. "Aku tidak akan lupa, bagaimana aku lupa kalau aku selalu ingat kau mengucapkan my baby bunny sambil berteriak dalam kepalaku?"

"Ishhh, aku tidak seannoying itu." kukerucutkan bibir, ngeri dengan daya imajinasi Mufti.

"Aku tahu," balasnya. Sekarang kami berdiri di depan mobil. Ia membukakan pintu untukku. Sebelum aku masuk,kuambil kue tart di tangannya.

"Maaf ya, my baby bunny." aku menahan napas. "sampai sekarang, aku belum bisa memberimu keturunan."

Mufti tidak menyahut, justru meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun, mengusapnya dengan lembut sambil menatapku."Aku tidak suka kau meminta maaf. Itu terdengar bahwa kau bersalah." ia mulai menyangkalku, matanya masih memandangiku dengan sorot mata penuh cinta. "Aku mencintaimu. Tidak peduli kita sudah punya momongan atau tidak."

"Tapi ini sudah lima tahun. Dan rumah kita masih sepi. Tidak ada tangisan bayi."

Mufti menggeleng, "Kau bisa mendengar tangisan bayi di rumah sakit." balasnya, masih suka bercanda saat aku serius.

"Kamu tahu bukan itu maksudku."

"Killa, sabar adalah obat dan jangan menyalahkan dirimu pada mubramNya. Itu terkesan kau sangat pesimis dan tidak percaya pada Allah. Yakin saja, selama ada Tuhan hadir dalam diri kita, apapun bisa terjadi."

"Aku percaya, hanya saja...."

"Hanya saja aku terlalu mencintaimu." ia memotongku, tidak memberiku kesempatan untuk melanjutkan kalimat sebab saat itu juga ia mendorong tubuhku agar segera duduk nyaman dalam mobil. Mufti masih seperti dulu. Aku tahu perasaannya, tapi dia selalu mengutamakan aku di atas dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti, kenapa dulu aku begitu mudah jatuh hati padanya.

Dia... Mufti, priaku, imamku.

****

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 09, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Serenade JinggaWhere stories live. Discover now