3. Sukaraja, I'm Coming!

38.4K 2K 76
                                    

"Sukaraja! Sukaraja!" teriak kondektur. Aku terbangun dan buru-buru menyahut agar bis berhenti.

"Kak...," kubangunkan pria yang tidur di sampingku. Aku bisa melihat raut kelelahan dari wajahnya. "Kak...,"

Ia membuka matanya perlahan, mirip slow motion film. Kuamati seksama caranya bangun, berharap otakku menyimpannya dengan baik di memory.

"Sudah sampai. Ayo turun." Entah mengapa, aroma permusuhan yang terjadi di rumah makan semalam menghilang begitu melihat wajahnya yang terkesan polos.

Ia berdehem, duduk sejenak lalu berdiri dan mencangklong ranselnya. Ia keluar dari bis, menuju bagasi bis dan menyuruh kondektur menurunkan tasku.

"Yang mana?" kondektur bertanya dengan suara serak. Mufti menoleh padaku.

"Itu-yang besar warna merah marun."

Mufti tercengang melihat koperku. Ia menggeleng tak percaya dan menahan senyumnya hingga bibirnya berkedut-kedut. Kondektur mengeluarkan dengan cukup kesusahan.

"Ini, sampai ketemu lagi." si kondektur dengan sok manis melambaikan tangan lalu masuk ke dalam bus.

"Begitu indah ya disapa kondektur," ejek Mufti, membuatku kesal lagi. tahu begitu, tak usah kubangunkan saja dia. Heran, kenapa dia dengan mudah bersikap baik, lalu bertindak menyebalkan?

"Bukan urusan anda, kan?" kugunakan kata sindiran yang cukup lembut. Kugeret koperku dan melihat sekeliling, berharap ada ojek yang akan membawaku ke rumah kepala desa. Aih, ini masih pukul 05.00 WIB. Dan, ini desa terpencil. Mustahil ada ojek.

"Sekitar 2500 meter yang akan kita lewati, selamat berjalan kaki." Ucapnya lalu memasukkan tangan di kantong celana dan berjalan mendahuluiku. Aku merengut, menggeret koperku dengan kesusahan. Eish, aku sempat berpikir kalau dia akan membantuku-membawa koper. Namun, ternyata...?

Sebuah motor berhenti di depan Mufti, mereka berbicara dengan hangat. Ada satu hal yang mengganjal di otakku. Mufti memakai baju koko-bukan kaos oblong. Sejak kapan dia memakai pakaian itu?

Aku melewati Mufti dan temannya, berjalan dengan menghentakkan kakiku kuat-kuat karena kesal. Aku terus berjalan, membaui aroma sawah yang ada di sisi kanan dan sisi kiri jalan. Mencoba mengalihkan pikiran agar berhenti kesal pada Mufti.

"Kuantar kau." Ia menghentikan motor di sudut kanan depanku. Aku mendongak sekilas padanya lalu mulai berjalan lagi.

"Berpikirlah ulang kecuali kalau kau ingin kakimu bengkak dan aku tak pernah menawari seseorang hingga dua kali."

Sial. Dia bisa mengancamku. Kubalik tubuh dan menatapnya sebal. Kulirik koperku yang sepertinya akan susah jika kubawa.

"Tinggalkan dulu, nanti akan kubawa dengan Kamil."

Aku mengangguk setuju, naik di boncengan dan enggan pegangan di pinggangnya.

"Pegang sisi motor, jangan memegang tubuhku karena aku hanya milik istriku kelak."

Dan betapa menyebalkan dia, aku juga tak berniat memegangnya. Dia pikir, aku wanita rendahan yang mau 'memegang-megang' begitu? Sungguh pemikiran terbalik.

Setelah kurang lebih berjalan selama 8 menit, akhirnya Mufti menghentikan motornya. Aku turun.

"Hei, kau!" ucapku menghentikan niatnya men-start-er motornya. "Kau pikir tubuhku untuk dipegang-pegang orang yang bukan suamiku?" aku mendelik, masih marah dan mengungkit ucapannya yang tadi. Ia yang semula kaget lalu tersenyum hingga gigi gerahamnya terlihat.

"Kuanggap kau tak mengolokku. Karena jika sampai kau mengejekku, kupastikan, aku tak akan mengambilkan kopermu."

"YAK!" dia sudah melesat dengan motornya. Ya Allah, mimpi apa aku bertemu dia? Ini musibah, bukan anugrah.

Serenade JinggaWhere stories live. Discover now